KISAH NABI MUHAMAD SAW - RIWAYAT NABI MUHAMAD SAW - CERITA NABI MUHAMAD SAW - KISAH 25 NABI - SEJARAH NABI MUHAMAD SAW - KUMPULAN KISAH NABI MUHAMAD SAW
Setelah pada postingan tadi kita simak bersama
Kisah Nabi Isa as, Nah, kali ini saya sajikan kisah Nabi selanjutnya dengan KISAH NABI MUHAMAD SAW yang saya rangkum disini dalam
Kisah 25 Nabi dan Rosul. Nabi Muhamad saw Nabi adalah Nabi terakhir dari kisah 25 Nabi.
Ketika cahaya tauhid padam di muka bumi, maka kegelapan yang tebal
hampir saja menyelimuti akal. Di sana tidak tersisa orang-orang yang
bertauhid kecuali sedikit dari orang-orang yang masih mempertahankan
nilai-nilai ajaran tauhid. Maka Allah SWT berkehendak dengan rahmat-Nya
yang mulia untuk mengutus seorang rasul yang membawa ajaran langit untuk
mengakhiri penderitaan di tengah-tengah kehidupan. Dan ketika malam
mencekam, datanglah matahari para nabi. Kedatangan Nabi tersebut sebagai
bukti terkabulnya doa Nabi Ibrahim as kekasih Allah SWT, dan sebagai
bukti kebenaran berita gembira yang disampaikan oleh Nabi Isa as.
Allah SWT menyampaikan salawatnya kepada Nabi itu, sebagai bentuk rahmat
dan keberkahan. Para malaikat pun menyampaikan salawat kepadanya
sebagai bentuk pujian dan permintaan ampunan, sedangkan orang-orang
mukmin bersalawat kepadanya sebagai bentuk penghormatan. Allah SWT
berfirman:
"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Hai
orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah
salam penghormatan kepadanya." (QS. al-Azhab: 56)
Sebelumnya Allah SWT mengutus para nabi-Nya sebagai rahmat kepada kaum
dan zaman mereka saja, namun Allah SWT mengutus beliau saw sebagai
rahmat bagi alam semesta. Beliau saw datang dengan membawa rahmat yang
mutlak untuk kaum di zamannya dan untuk seluruh zaman. Allah SWT
berfirman, "Dan aku tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam
semesta."
Hakikat dakwah para nabi sebelumnya adalah menyebarkan Islam, begitu
juga ajaran yang dibawa oleh Nabi yang terakhir adalah Islam. Beliau saw
adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib, anak seorang wanita
Quraisy. Beliau saw adalah pemimpin anak-anak Nabi Adam as. Beliau saw
adalah hamba Allah SWT dan Rasul-Nya, serta rahmat Allah SWT yang
dihadiahkan kepada umat manusia.
Beliau saw lahir di tanah Arab. Ketika itu malam gelap, tiba-tiba Abdul
Muthalib membayangkan bahwa matahari telah terbit, lalu ia bangun dan
ternyata mendapati dirinya di pertengahan malam, keheningan yang luar
biasa menyelimuti gurun yang terbentang. Ia menuju pintu kemah, lalu
menyaksikan bintang-bintang bersinar di langit, dan dunia tampak di
selimuti dengan malam. Ia kembali menutup pintu kemah dan tidur. Belum
lama ia dikuasai oleh rasa kantuk yang amat sangat, sehingga ia kembali
bermimpi untuk kedua kalinya. Segala sesuatunya tampak jela s kali ini,
Sesungguhnya sesuatu yang besar memerintahnya untuk melaksanakan
perintah yang sangat penting, "Galilah zamzam!" Dalam mimpinya Abdul
Muthalib bertanya: "Apakah itu zamzam?" Kemudian untuk kedua kalinya
perintah itu mengatakan bahwa ia diperintahkan untuk menggali zamzam.
Belum lama Abdul Muthalib melihat sesuatu yang bersembunyi itu, sehingga
ia berdiri di tempat tidurnya dan hatinya berdebar dengan keras. Abdul
Muthalib bangkit, lalu ia membuka pintu kemah kemudian pergi ke gurun
yang luas. Apakah arti zamzam? Tiba-tiba pikirannya dipenuhi dengan
cahaya yang datang dari jauh, bahwa pasti zamzam adalah sebuah sumur,
tetapi apa yang diinginkan oleh suara yang datang dalam tidur itu agar
ia menggali sumur, di sana tidak ada jawaban selain satu jawaban dari
pertanyaan ini, yaitu agar orang-orang yang berhaji dan berkeliling di
sekitar Ka'bah dapat meminumnya. Tetapi apa nilai dari sumur itu
sendiri, bukankah di sana terdapat banyak sumur yang dapat diminum oleh
orang-orang yang berhaji.
Abdul Muthalib duduk di tengah-tengah pasir gurun pada pertengahan
malam, ia memikirkan bintang-bintang sembari merenungkan cerita-cerita
kuno yang mengatakan tentang sumur yang memancar darinya air sebagai
akibat dari pukulan kaki Nabi Ismail as, di sana juga ada cerita yang
mengatakan bahwa sumur itu telah binasa sesuai dengan perjalanan zaman.
Matahari terbit di atas gurun Jazirah Arab, Abdul Muthalib keluar
menemui orang-orang, dan menceritakan kepada mereka bahwa ia akan
menggali sebuah sumur di tempat tertentu, ia menunjukkan ke tempat yang
di situ ia diberitahu oleh suara yang ada dalam mimpinya. Orang-orang
Quraisy menolaknya, Sesungguhnya tempat yang diisyaratkan oleh Abdul
Muthalib terletak di antara dua berhala dari berhala-berhala yang biasa
disembah oleh masyarakat setempat, yaitu di antara berhala yang bernama
Ashaf dan NAllah. Abdul Muthalib merasa bahwa usahanya sia-sia untuk
meyakinkan kaumnya agar mengizinkannya untuk menggali sumur. Mereka
mengetahui bahwa Abdul Muthalib tidak mempunyai sesuatu selain hanya
seorang anak. Bahwasanya ia tidak memiliki anak-anak yang dapat menolong
dan memperkuatnya serta melaksanakan keinginan-keinginannya.
Pada saat itu di kawasan negeri Arab dipenuhi dengan kabilah-kabilah
yang terjalin suatu ikatan fanatisme atau kesukuan yang kuat dan usaha
untuk melindungi keluarga yang sangat menonjol. Akhirnya Abdul Muthalib
pergi dalam keadaan sedih, lalu ia berdiri di hadapan Ka'bah dan
mengungkapkan suatu nazar kepada Allah SWT. Ia berkata: "Jika aku
mendapat sepuluh anak laki-laki, dan mereka menginjak usia dewasa,
sehingga mereka mampu melindungiku saat aku menggali sumur Zamzam, maka
aku akan menyembelih salah seorang dari mereka di sisi Ka'bah sebagai
bentuk korban."
Pintu langit pun terbuka untuk doanya. Belum sampai berlangsung satu
tahun, istrinya melahirkan anaknya yang kedua dan setiap tahun ia
melahirkan anak laki-laki sampai pada tahun yang kesembilan, sehingga
Abdul Muthalib mempunyai sepuluh anak laki-laki. Kemudian berlalulah
zaman dan anak-anak Abdul Muthalib menjadi besar.
Abdul Muthalib akhirnya menjadi seseorang yang memiliki kemampuan.
Kemudian Abdul Muthalib berusaha melakukan rencananya yang diisyaratkan
dalam mimpinya itu, yaitu ia bersiap-siap untuk mengorbankan salah satu
anaknya sebagai bentuk pelaksanaannya dari nazarnya. Maka dilakukanlah
undian atas sepuluh anaknya, lalu keluarlah nama anaknya yang paling
kecil yaitu Abdullah. Ketika nama anak itu keluar dalam undian, maka
orang-orang yang ada disekitarnya berusaha memberontak, mereka
mengatakan bahwa mereka tidak akan membiarkan Abdullah disembelih.
Abdullah saat itu terkenal sebagai seseorang yang bersih dikawasan Arab,
ia telah dapat menarik simpati masyarakat di sekitarnya. Ia tidak
pernah menyakiti seseorang pun. Bahkan ia tidak pernah meninggikan
suaranya lebih dari orang lain. Senyuman khas Abdullah terkenal sebagai
senyuman yang paling lembut di kawasan Jazirah Arab. Muatan ruhaninya
demikian jernih, dan hatinya yang mulia menyerupai sebuah kebun di
tengah-tengah gurun hati-hati yang keras, oleh karena itu semua manusia
datang kepadanya dan menentang usaha penyembelihannya. Para pembesar
Quraisy berkata, "Lebih baik kami menyembelih anak-anak kami daripada ia
harus disembelih, dan menjadikan anak-anak kami sebagai tebusan
baginya. Kami tidak akan menemukan seseorang pun yang lebih baik dari
dia seandainya kami menyembelihnya, pertimbangkanlah kembali masalah
itu, dan biarkan kami bertanya kepada dukun."
Abdul Muthalib tampak tidak mampu menghadapi tekanan ini, lalu ia
mempertimbangkan kembali apa yang telah ditetapkannya. Kemudian mereka
mendatangi seorang dukun. Si dukun berkata: "Berapakah taruhan yang
kalian miliki?" Mereka menjawab: "Sepuluh ekor unta." Dukun itu berkata:
"Datangkanlah sepuluh unta, lalu lakukanlah kembali undian atasnya dan
atas nama Abdullah, jika undian datang padanya, maka tambahlah sepuluh
ekor unta lagi, lalu ulangilah terus undian tersebut, demikian hingga
tidak keluar lagi nama Abdullah."
Kemudian dilakukanlah undian atas nama Abdullah dan atas sepuluh ekor
unta yang besar. Undian itu pun mengeluarkan terus nama Abdullah, hingga
Abdul Muthalib menambah sepuluh ekor unta lagi, kemudian lagi-lagi yang
keluar nama Abdullah sehingga mereka pun menambah sepuluh ekor unta
lagi sampai jumlah unta itu telah mencapai seratus ekor unta. Setelah
itu, datanglah nama unta tersebut. Maka saat itu, masyarakat demikian
gembiranya sehingga berlinangan air mata, kegembiraan dari mereka karena
melihat Abdullah berhasil diselamatkan. Kemudian disembelihlah seratus
ekor unta di sisi Ka'bah, dan mereka membiarkannya di situ sehingga
korban itu tidak disentuh oleh seseorang pun dan juga disentuh oleh
binatang-binatang buas.
Abdul Muthalib sangat gembira atas keselamatan anaknya, Abdullah. Lalu
ia menetapkan untuk menikahkannya dengan gadis terbaik di Jazirah Arab,
kemudian ia keluar dengannya pada suatu hari dari Ka'bah ke rumah Wahab,
dan di sana ia meminang untuknya Aminah binti Wahab. Kemudian Aminah
binti Wahab menikah dengan Abdullah bin Abdul Muthalib, seorang pemuda
yang paling mulia dan paling dicintai oleh orang-orang Quraisy.
Dinyalakanlah api-api di gunung-gunung Mekah, agar para musafir dan para
tamu mengetahui tempat diadakannya acara tersebut, yaitu acara
pernikahan antara Abdullah dan Aminah. Lalu disembelihlah hewan-hewan
korban, dan manusia dari kalangan orang-orang fakir bahkan
binatang-binatang buas dan burung makan darinya. Abdullah tinggal
bersama istrinya dua bulan di rumah pernikahan, hingga suatu hari ada
kabar bahwa kafilah akan berangkat, lalu Abdullah pun mengikuti kafilah
tersebut dan melakukan perjalanan bersama kafilah perdagangan Quraisy
menuju Syam, itu adalah kesempatan terakhir yang diperoleh Aminah binti
Wahab bersamanya. Wajah Abdullah yang mulai tampak berseri-seri
mengucapkan selamat tinggal kepada Aminah, lalu setelah itu
bayang-bayang wajahnya tersembunyi bersama kafilah dan rnereka pun
hilang. Aminah tidak mengetahui bahwa itu adalah kesempatan terakhirnya
setelah dua bulan dari perkawinannya. Abdullah mengunjungi
paman-pamannya dari kabilah bani Najar di Madinah, dan di sana ia
meletakkan jasadnya di muka bumi, ia meninggal dunia.
Abdullah bin Abdul Muthalib kini telah meninggal. Saat itu ia berusia
dua puluh lima tahun. Kabar kematiannya tiba-tiba tersebar dan sangat
memilukan hati orang-orang yang mendengarnya, sehingga kabar itu sampai
ke istrinya. Aminah tampak menangis tersedu-sedu dan ia tampak
menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada dirinya dan tidak mengetahui
jawabannya, mengapa Allah SWT menebusnya dengan seratus unta jika
kemudian Dia menetapkan kematian baginya.
Tidak lama kemudian, lalu bergeraklah dirahimnya janin dengan gerakan
yang sedikit, ia tampak mulai mengetahui bahwa ia sedang hamil. Aminah
menangis dua kali, pertama ia menangis untuk dirinya sendiri dan kali
ini ia menangis untuk anak yang ditinggal mati ayahnya sebelum ia sempat
dilahirkan. Aminah tidak pernah mengetahui sebelumnya bahwa janin yang
dikandungnya akan menjadi anak yatim, ayahnya meninggal saat ia
dilahirkan.
Anak yatim ini harus menanggung beban anak-anak yatim dan orang-orang
fakir serta orang-orang yang sedih di muka bumi. Ia akan menjadi Nabi
yang terakhir dan rasul-Nya kepada manusia. Ia akan menjadi rahmat yang
dihadiahkan kepada manusia dan tidak akan mengetahui makna rahmat
kecuali orang yang merasakan penderitaan dan kepahitan. Inilah anak
kecil yang sebelum dilahirkan telah menelan kesedihan. Dan berlalulah
hari demi hari, lalu hilanglah tangisan penderitaan dan mata Aminah pun
telah mengering, namun kesedihannya tampak menyerupai sebuah pohon yang
turnbuh bersama kehausan.
Kemudian kesedihannya hari demi hari semakin ia rasakan tetapi
kesedihannya itu mulai tidak tampak ketika ia mendapatkan bahwa janin
yang dikandungnya tidaklah memberatkannya, sebaliknya ia merasakan
betapa ringannya janin yang dikandungnya bagaikan merpati yang
berkeliling di seputar Ka'bah, dan seandainya kesedihannya yang selalu
mengitarinya, maka tidak ada wanita yang lebih bahagia darinya dengan
kehamilan yang ringan ini. Janin itu adalah manusia yang mulia di sisi
Tuhan, kemudian semakin dekatlah hari kelahirannya. Sementara itu,
pasukan Abrahahh mendekati Mekah.
Abrahahh adalah seorang penguasa Yaman, yaitu pada saat Yaman tunduk
kepada Habasyah setelah penguasa Persia diusir. Di Yaman ia membangun
suatu gereja yang menunjukkan bangunan yang menakjubkan. Abrahahh
membangunnya dengan niat agar orang-orang Arab berpaling dari Baitul
Haram di Mekah. Ia melihat betapa orang-orang Yaman tertarik dengan
rumah tersebut. Dan ketika ia tidak melihat gereja yang dibangunnya
memiliki daya tarik seperti itu dan tidak mampu menarik hati orang-orang
Arab, maka ia berkeinginan kuat untuk menghancurkan Ka'bah, sehingga
orang-orang tidak menuju ke Ka'bah lagi melainkan ke gerejanya.
Demikianlah akhirnya ia menyiapkan pasukan yang besar yang dipenuhi
dengan berbagai senjata, kemudian pasukan itu menuju Ka'bah.
Pasukan Abrahahh terdiri dari kelompok gajah yang besar yang
digunakannya untuk menghancurkan Ka'bah. Gajah-gajah itu bagaikan
tank-tank yang kita gunakan saat ini. Orang-orang Arab pun mendengar
rencana tersebut. Memang orang-orang Arab saat itu terkenal sebagai
penyembah berhala, meskipun demikian mereka sangat memberikan
penghargaan dan penghormatan terhadap Ka'bah, karena mereka meyakini
bahwa mereka adalah anak-anak Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as
pemelihara Ka'bah.
Perjalanan pasukan tiba-tiba dihadang oleh seorang lelaki yang mulia
dari penduduk Yaman yang bernama Dunaher. Ia mengajak kaumnya dan dari
kalangan orang-orang Arab untuk memerangi Abrahahh, sehingga ada
beberapa orang yang mengikutinya. Abrahahh berhadapan dengan tentara
tersebut tetapi pasukan yang sedikit itu dapat dengan mudah dipatahkan
oleh pasukan kafir yang besar itu. Kemudian Dunaher pun kalah dan
menjadi tawanan Abrahahh. Pasukan Abrahahh tersebut juga sempat
ditentang oleh Nufail bin Hubaid al-Aslami, namun Abrahahh pun dapat
mengalahkan mereka dan berhasil menawan Nufail.
Kemudian ketika Abrahahh melewati kota Taif, menghadaplah kepadanya
beberapa orang tokoh setempat, dan mereka tampak gemetar ketakutan dan
berkata kepadanya bahwa sesungguhnya 'rumah' yang ditujunya tidak berada
di tempat mereka, tetapi berada di Mekah. Hal itu mereka sampaikan
dengan maksud untuk memalingkannya dari rumah berhala mereka, di mana
mereka membangun di dalamnya berhala yang bernama Latha kemudian mereka
mengutus seseorang yang akan menunjukkan kepada Abrahahh letak Ka'bah.
Ketika Abrahahh berada di antara Taif dan Mekah, ia mengutus seorang
pemimpin pasukannya sehingga ia melihat keadaan Mekah. Di sana ia
merampas banyak harta dari kaum Quraisy dan selain mereka, dan di antara
yang dirampasnya adalah dua ratus unta milik Abdul Muthalib bin Hasyim.
Saat itu Abdul Muthalib adalah salah seorang pembesar Quraisy dan
pemimpin mereka, serta pengawas sumur Zamzam.
Kedatangan utusan Abrahahh di Mekah telah menimbulkan gejolak pada
kabilah-kabilah. Akhirnya kaum Quraisy bergerak, begitu juga kaum
Khananah. Kemudian mereka mengetahui bahwa mereka tidak memiliki
kemampuan untuk melawan Abrahahh, sehingga mereka membiarkannya, lalu
tersebarlah di Jazirah Arab berita tentang datangnya pasukan yang kuat
yang sulit untuk ditandingi. Dalam surat yang dibawa oleh utusannya itu,
Abrahahh menyampaikan bahwa ia tidak datang untuk memerangi mereka,
namun ia datang hanya untuk menghancurkan Ka'bah. Jika mereka tidak
menentangnya, maka darah mereka tidak akan ditumpahkan. Lalu utusan itu
menemui Abdul Muthalib, ia menceritakan tentang keinginan Abrahahh.
Abdul Muthalib berkata: "Kami tidak ingin memeranginya karena kami tidak
memiliki kekuatan. Ka'bah adalah rumah Allah SWT yang mulia dan suci,
dan rumah kekasih-Nya Ibrahim. Jika Ia mencegahnya, maka itu adalah
rumah-Nya dan tempat suci-Nya, namun jika Ia membiarkannya, maka demi
Allah kami tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankannya."
Kemudianutusan itu pergi bersama Abdul Mutihalib menuju Abrahahh.
Abdul Muthalib adalah seseorang yang sangat terpandang dan sangat mulia.
Ia memiliki kewibawaan dan kehormatan yang mengagumkan. Ketika Abrahahh
melihatnya, Abrahahh menampakkan penghormatan kepadanya. Abrahahh
memuliakannya dan mendudukannya di bawahnya, ia tidak suka bahwa ia
duduk bersamanya di kursi kekuasaannya. Lalu Abrahahh turun dari
kursinya dan duduk di atas sebuah permadani dan mendudukkan Abdul
Muthalib di sisinya. Kemudian ia berkata kepada penerjemahnya: "Katakan
padanya apa kebutuhannya?" Abdul Muthalib berkata: "Kebutuhanku adalah
agar Abrahahh mengembalikan dua ratus ekor unta yang diambilnya dariku"
Ketika Abdul Muthalib mengatakan demikian, wajah Abrahahh berubah, lalu
ia berkata kepada penerjemahnya: "Katakan padanya sungguh aku merasa
kagum ketika melihatnya, kemudian aku merasakan kehati-hatian saat
berbicara dengannya, apakah engkau berbicara denganku tentang dua ratus
ekor unta yang telah aku ambil, lalu engkau membiarkan rumah yang
merupakan simbol agamanya dan kakek-kakeknya, yang aku datang untuk
menghancurkannya dan dia tidak menyinggungnya sama sekali" Abdul
Muthalib menjawab: "Aku adalah pemilik unta, sedangkan pemilik rumah itu
adalah Tuhan yang melindunginya." Abrahahh berkata: "Dia tidak akan
mampu melindunginya dariku." Abdul Muthalib menjawab: "Lihat saja
nanti!"
Selesailah dialog antara Abdul Muthalib dan Abrahahh. Abrahahh pun
mengembalikan unta yang telah dirampasnya. Abdul Muthalib pergi menemui
orang-orang Quraisy dan menceritakan apa yang dialaminya, dan ia
memerintahkan mereka untuk meninggalkan Mekah dan berlindung dibalik
gua-gua di gunung. Akhirnya kota Mekah dikosongkan oleh pemiliknya.
Aminah binti Wahab keluar ke gunung-gunung di dekat kota Mekah kemudian
malaikat turun di bumi Jarzirah Arab.
Abdul Muthalib berdiri dan memegangi pintu Ka'bah dan berdiri bersama
dengan sekelompok orang-orang Quraisy, mereka berdoa kepada Allah SWT
dan meminta perlindungan-Nya, agar para malaikat memerintahkan
gajah-gajah tidak melangkahkan kakinya sehingga gajah itu pun tetap di
tempatnya dan menaati perintah para malaikat, kemudian gajah-gajah itu
menerima pukulan yang dahsyat namun gajah-gajah itu tetap berdiam di
tempatnya, gajah-gajah itu tampak gemetar dan berteriak tetapi lagi-lagi
gajah-gajah itu menolak untuk bergerak dan tidak bergerak selangkah
pun. Abrahahh bertanya: "Mengapa pasukan tidak bergerak?" Kemudian
dikatakan kepadanya bahwa gajah-gajah menolak untuk bergerak. Abrahah
mengangkat cemetinya. Dengan muka emosi, ia ingin melihat apa yang
sebenarnya terjadi dengan gajah-gajahnya.
Matahari saat itu bersinar dan ia duduk di kemahnya. Ketika ia keluar,
matahari bersembunyi di balik segerombolan burung. Abrahah mengangkat
pandangannya ke arah langit. Mula-mula ia membayangkan bahwa ia melihat
sekawanan awan yang hitam. Kemudian ia mengamat-amati awan itu. Dan
ternyata ia bukan awan biasa. Itu adalah sekelompok burung yang menutupi
cahaya matahari dan menyerupai awan yang tebal. Burung ababil, burung
yang banyak.
Gajah-gajah semakin berteriak dengan kencang dan tampak ketakutan. Dan
rasa takut itu kini menghinggapi seluruh pasukan. Abrahah berteriak di
tengah-tengah pasukannya agar gajah diusahakan untuk maju secara paksa.
Kemudian terbukalah salah satu jendela dari jendela al-Jahim, dan
burung-burung itu menghujani pasukan dengan batu dari Sijil, yaitu batu
yang sama yang pernah dihujankan kepada kaum Nabi Luth. Batu itu
menyerupai bom-bom atom yang digunakan saat ini.
Jika Anda membaca buku-buku kuno, maka Anda akan mengetahui bagaimana
peristiwa yang menimpa pasukan Abrahah. Anda akan membayangkan bahwa
Anda berada di hadapan suatu kekuatan yang menghancurkan yang tidak
diketahui asal muasalnya. Dunia mengenali sebagian darinya setelah empat
belas abad dari peristiwa tersebut. Buku-buku itu mengatakan bahwa
pasukan itu dihancurkan dengan penghancuran yang dahsyat.
Para tentara Abrahah kembali dalam keadaan binasa di mana daging-daging
dari tubuh mereka berceceran di jalan. Abrahah pun mendapatkan luka dan
mereka keluar dari tempat itu dalam keadaan dagingnya terpisah satu
persatu. Abrahah pun terbelah dadanya dan mati. Kemudian jasad para
pasukannya tersebar dan berceceran di bumi, seperti tanaman yang dimakan
oleh binatang. Setelah mendekati setengah abad, turunlah suatu surah di
Mekah yang menceritakan tentang peristiwa itu:
"Apakah kamu tidak memperhatikan bagimana Tuhanmu telah bertindak
terhadap tentara gajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka
(untuk menghancurkan Ka 'bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada
mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu
(berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadihan mereka seperti
daun yang dimakan (ulat)." (QS. al-Fil: 1-5)
Pasukan gajah yang ingin memporak-porandakan Mekah dikalahkan. Kemudian
mereka dihancurkan dan Tuhan pemilik Ka'bah berhasil melindungi rumah
suci-Nya. Perlindungan tersebut bukan sebagai penghormatan bagi orang
yang tinggal di rumah itu dan bukan sebagai bentuk pengkabulan doa kaum
yang menyembah berhala yang memenuhi tempat itu. Allah SWT sebagai
Pelindung Ka'bah memeliharanya karena adanya hikmah yang tinggi; Allah
SWT menginginkan sesuatu bagi rumah itu; Allah SWT ingin melindunginya
agar tempat itu menjadi tempat yang damai bagi manusia dan supaya tempat
itu menjadi pusat dari akidah yang baru dan menjadi tanah bebas yang
aman, yang tidak dikuasai oleh seseorang pun dari luar dan juga tidak
didominasi oleh pemerintahan asing yang akan membatasi dakwah. Yang
demikian itu karena di sana terdapat rumah dari rumah-rumah di Mekah
yang lahir di sana seorang anak di mana ibunya bernama Aminah binti
Wahab dan ayahnya adalah Abdullah, salah seorang tokoh Arab. Anak itu
belum dilahirkan dan belum dapat tugas kenabian dan ia belum memikul
Islam di atas pundaknya dan belum menjadi rahmat bagi alam semesta.
Kemudian datanglah Abrahah yang ingin menghancurkan semua ini tanpa ia
mengetahui semua rahasia ini.
Tragedi yang menimpa Abrahah adalah karena bahwa ia berusaha menentang
kehendak Ilahi sehingga kehendak Ilahi itu menghancurkannya dengan
mukjizat yang mengagumkan. Datanglah banyak burung dengan membawa
batu-batuan yang tidak didengar suaranya. Kemudian burung-burung
melemparkan batu-batu itu kepada Abrahah beserta tentaranya. Semua ini
berdasarkan rencana Ilahi terhadap rumah-Nya dan agama-Nya serta
nabi-Nya sebelum orang mengetahui bahwa Nabi Islam telah bersiap-siap
untuk meninggalkan tempat tidurnya di perut ibunya dan mulai memasuki
kehidupan yang keras di muka bumi.
Di tengah-tengah kegembiraan Mekah karena keselamatan penghuninya dan
selamatnya Ka'bah, Aminah binti Wahab bermimpi: di tengah suatu malam ia
menyaksikan dirinya berdiri sendirian di tengah-tengah gurun, dan telah
keluar dari dirinya suatu cahaya besar yang menyinari timur dan barat
dan terbentang hingga langit. Aminah tiba-tiba terbangun dari tidurnya
namun ia tidak mengetahui tafsir dari mimpinya.
Berlalulah hari demi hari dari tahun gajah. Dan pada waktu sahur dari
malam Senin hari keduabelas dari bulan Rabiul Awal, Aminah melahirkan
seorang anak kecil yang yatim yang bernama Muhammad bin Abdillah bin
Abdul Muthalib, seorang cucu dari Ismail bin Ibrahim bin Adam.
Sebelum ia dilahirkan, dunia mati karena kehausan padanya. Kehausan
dunia sangat besar kepada cinta, rahmat, dan keadilan. Sekarang teiah
berlalu 600 tahun dari kelahiran al-Masih dan orang-orang Masehi telah
menjauhi ajaran cinta, bahkan keyakinan-keyakinan berhalaisme telah
meresap kepada sebagian kelompok mereka dan kejernihan ajaran tauhid
telah ternodai. Sedangkan orang-orang Yahudi telah meninggalkan
wasiat-wasiat Musa dan mereka kembali menyembah lembu yang terbuat dari
emas. Dan setiap orang dari mereka lebih memilih untuk memiliki lembu
emas yang khusus. Demikianlah, berhalaisme telah menyerang di bumi. Bumi
dipenuhi oleh kegelapan. Akal disingkirkan dan Tuhan diiupakan dan
mereka menyerahkan diri mereka kepada pembohong.
Ketika jantung dunia telah terkena kekeringan, maka memancarlah dari
timur suatu mata air keimanan yang jernih yang menjadi puas dengannya
separo dunia. Dan mukjizat besar terjadi ketika mata air ini
mengeluarkan air yang jernih dari jantung gurun yang paling besar
ketandusannya di dunia, yaitu gurun jazirah Arab. Berkenaan dengan
penggambaran masa tersebut, dalam hadis yang mulia dikatakan:
"Sesungguhnya Allah melihat penduduk bumi lalu Dia murka kepada mereka,
baik orang-orang Arab maupun orang-orang Ajam kecuali sebagian kecil
dari Ahlulkitab."
Di tenda yang kasar, lahirlah seorang anak yatim yang kemudian
bertanggung jawab untuk memberikan minum kepada dunia yang haus pada
cinta, keadilan, kebebasan, serta kebenaran. Sementara itu, beberapa
langkah dari tempat kelahirannya terdapat berhala-berhala yang memenuhi
Baitul 'Athiq dan sekitar Ka'bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan
Nabi Ismail agar menjadi rumah Allah SWT dan Dia disembah di dalamnya
dan manusia merasa tenteram di dalamnya. Di rumah yang kuno ini—yang
dibangun sebelumnya oleh Adam—dipenuhi patung-patung tuhan yang terbuat
dari batu dan kayu. Ini menunjukkan betapa akal orang-orang Arab saat
itu mengalami titik terendah.
Sementara itu nun jauh di sana, tepatnya di Yatsrib atau Madinah
dipenuhi oleh orang-orang Yahudi yang mereka datang di sana karena
melarikan diri dari penindasan orang-orang Romawi. Mereka tinggal di
situ bagaikan srigala-srigala di atas tanah yang tersubur di mana mereka
melakukan monopoli dalam perdagangan. Mereka membagun kejayaan mereka
dengan memanfaatkan orang-orang Arab dan keheranan mereka terhadap diri
mereka sendiri.
Para cendikiawan Yahudi memperdagangkan segala sesuatu, dimulai dari
emas sampai Taurat. Mereka menyembunyikan kertas-kertas darinya dan
menampakkan sebagiannya; mereka mengubah kertas-kertas Taurat itu untuk
memperkaya diri mereka. Pada saat orang-orang Yahudi menyembah emas dan
sangat lihai melakukan persekongkolan, orang-orang Arab justru menyembah
batu dan mereka pandai berperang. Mereka juga lihai dalam membuat syair
lalu menggantungkannya di atas tirai-tirai Ka'bah. Orang-orang Arab
hidup di bawah naungan sistem kesukuan di mana kepala suku adalah
pemimpin dan nilainya sebanding dengan anak buahnya, dan kemampuan
mereka dalam berperang. Dan keutamaan seseorang dilihat dari asal
muasalnya serta nilainya juga dilihat dari kefanatikannya serta
kebanggannya kepada nasab yang merupakan kemuliannya, juga
kefanatikannya terhadap berhala tertentu yang merupakan agamanya. Jadi,
segala bentuk kemuliaan dan kewibawaan tidak terbentuk kecuali dalam
ruang lingkup yang sempit dalam kabilah atau kesukuan.
Sedangkan di tempat yang jauh dari Mekah, Romawi menyerupai burung
rajawali yang lemah, namun belum sampai kehilangan kekuatannya.
Orang-orang Romawi sangat menyanjung kekuatan. Sedangkan di belahan
timur dari utara negeri Arab, orang-orang Persia menyembah api dan air.
Api tetap menyala di tempat peribadatan mereka di mana manusia rukuk
untuknya. Dan di sana terdapat danau Sawah yang dianggap suci oleh
mereka.
Sementara itu, Kisra, raja kaum Persia duduk di atas singgasananya dan
memberikan keputusan terhadap manusia. Keputusan Kisra selalu didengar
dan dilaksanakan. Tidak ada seorang pun yang berani menentangnya dan
menolaknya. Orang-orang Persia berhasil mengalahkan Romawi dan Yunani,
sehingga mereka menjadi kekuatan yang dahsyat di muka bumi. Meskipun
mereka memiliki kekuatan yang sangat luar biasa, namun penyembahan api
jelas-jelas menunjukkan betapa bodohnya mereka dan betapa kekuatan
mereka diliputi oleh kebodohan sehingga akal mereka tercabut dan mereka
terhalangi untuk mencapai kebenaran. Alhasil, kegelapan semakin
meningkat di setiap penjuru bumi dan kehidupan berubah menjadi hutan
yang lebat di mana di dalamnya seorang yang kuat akan menyingkirkan
seorang yang lemah dan di dalamnya yang menang adalah kebatilan.
Di tengah-tengah suasana yang demikian kelam, lahirlah seorang anak di
tenda Mekah. Ketika anak tersebut lahir, maka padamlah api yang disembah
oleh kaum Persia dan keringlah danau Sawah yang disucikan oleh manusia,
bahkan robohlah empat belas loteng dari istana Kisra. Dan setan merasa
bahwa penderitaan yang besar telah merobek-robek hatinya. Ini semua
sebagai simbol dimulainya kehancuran kejahatan atau keburukan di muka
bumi dan terbebasnya akal manusia dari penyembahan terhadap sesama
manusia atau terhadap hal-hal yang bersifat khurafat. Manusia diajak
hanya untuk menyembah kepada Allah SWT. Kelahiran Rasul sebagai bukti
hilangnya kelaliman, sebagaimana kelahiran Nabi Musa yang menunjukkan
kebebasan Bani Israil dari kelaliman Fir'aun.
Ajaran Muhammad bin Abdillah merupakan ajaran revolusi yang paling
meyakinkan dan yang paling penting yang pernah dikenal di dunia; ajaran
yang bertugas untuk menyelamatkan dan membebaskan akal dan materi.
Tentara Al-Qur'an adalah tentara yang paling adil dan paling berani
untuk menghancurkan orang-orang yang lalim. Kita akan melihat dalam
sejarah Nabi bahwa kejadian-kejadian luar biasa telah mengelilingi
Ka'bah sebelum kelahirannya. Kemudian terjadilah peristiwa luar biasa
setelah kelahirannya di mana terjadilah peristiwa pembelahan dada pada
saat beliau masih kecil, begitu juga beliau dinaungi oleh awan di waktu
kecil, bahkan beliau terkenal pada saat masih kecil dengan kecenderungan
untuk meninggalkan permainan-permainan yang biasa dimainkan oleh
anak-anak kecil seusia beliau. Allah SWT memberikan penjagaan khusus
kepadanya sehingga Jibril as turun kepadanya dengan membawa wahyu.
Selanjutnya, mukjizatnya yang pertama adalah mukjizat yang terdapat pada
kepribadiannya dan pemikiran-pemikirannya. Itulah yang menjadi
mukjizatnya yang terbesar setelah Al-Qur'an; itu adalah bangunan ruhani
yang tinggi di mana beliau mampu menahan penderitaan di jalan Allah SWT.
Dan dalam menegakkan kebenaran, beliau memikul berbagai macam
rintangan. Beliau melaksanakan amanat yang diembannya secara sempuma dan
sebaik-baik mungkin. Hal yang indah yang dikatakan tentang mukjizat
Nabi setelah diutusnya beliau adalah bahwa beliau tidak mempunyai
mukjizat selain usaha membebaskan akal: tanpa memiliki kekuatan luar
biasa selain membebaskan pikiran, tanpa dalil selain kalimat Allah SWT.
Sedangkan Isa bin Maryam telah berdakwah dan mengajak manusia untuk
menciptakan kesamaan, persaudaraan, dan cinta kasih di antara mereka,
namun Muhammad saw diberi karunia untuk mewujudkan persamaan,
persaudaraan, dan cinta kasih di antara orang-orang mukmin di
tengah-tengah kehidupannya dan setelah kehidupannya.
Ketika Nabi Isa mampu menghidupkan orang-orang yang mati dan
mengeluarkan mereka dari kuburan, Muhammad bin Abdillah menghidupkan
orang-orang hidup dari kematian mereka yang tidak pernah mereka sadari.
Itu adalah bentuk kematian yang paling berat. Beliau juga mengeluarkan
rnereka dari kegelapan dan kebodohan menuju cahaya ilmu, dan dari
belenggu syirik dan kekufuran menuju dunia tauhid.
Sulaiman sebagai seorang Nabi dan raja mampu memperkerjakan jin untuk
mengabdi padanya, bahkan mereka mampu terbang beribu-ribu mil untuk
menghadirkan singgasana musuh-musuhnya agar mereka semua tercengang
terhadap kemampuannya, sehingga mereka masuk Islam. Namun Muhammad saw
justru mengabdi kepada Islam hanya sebagai seorang tentara yang
sederhana. Beliau mengetahui bahwa ketika beliau lalai sesaat saja dari
dakwah di jalan Allah SWT, maka kesempatannya dalam menyebarkan agama
Islam akan hilang.
Di saat terjadi peristiwa besar dalam peperangan, tiba-tiba azan salat
dikumandangkan, sehingga para pasukan yang berperang mengerjakan salat.
Tidak ada malaikat yang turun untuk melindungi mereka ketika salat atau
mencegah datangnya anak-anak panah dari punggung mereka saat sujud.
Karena itu, hendaklah para pasukan melindungi dirinya sendiri. Para
pasukan mukmin berusaha salat secara bergantian: sebagian mereka salat
dan sebagian mereka bertugas untuk menjaga.
Allah SWT berfirman:
"Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu
hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan
dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian
apabila mereka sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah
mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah
datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu
bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan
menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin agar kamu lengah terhadap
senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan
sekaligus."(QS. an-Nisa': 102)
Selesailah masalah itu dan tidak adak malaikat yang turun untuk
melindunginya dan menolongnya. Ini adalah masa kematangan akal dan masa
keletihan para nabi dan orang-orang mukmin. Dan sesuai kadar keletihan
mereka dalam menyampaikan ajaran Islam, mereka pun akan mendapatkan
balasan yang besar.
Pada masa para nabi sebelum Nabi Muhammad saw, mereka menghadirkan
mukjizat-mukjizat kepada kaum mereka saat memulai dakwah, sehingga kaum
tersebut mempercayai apa saja yang mereka bawa, sedangkan Nabi Muhammad
bin Abdillah tidak menghadirkan kepada kaumnya selain dirinya dan
ketulusannya.
Allah SWT telah memutuskan untuk melindungi Musa dan memerintahkannya
untuk mengangkat gunung di atas kaumnya hingga mereka beriman kepada
Taurat, atau untuk menjatuhkan gunung tersebut di atas mereka. Ketika
mengetahui hal yang Demikian itu, orang-orang Yahudi sujud dengan
meletakkan pipi mereka di atas tanah dan mereka mengamati bukit batu
yang berada di atas kepala mereka yang diangkat oleh tangan yang
tersembunyi. Sedangkan Nabi Muhammad bin Abdillah tak pernah memaksa
seseorang pun. Berimanlah beberapa orang kepadanya dan puaslah beberapa
orang kepadanya dan matilah bersamanya orang-orang yang mati dalam
keadaan puas. Beliau tidak membawa pedang kecuali saat panah yang
beracun mendekati jantung Islam dan mengancamnya.
Dakwah para nabi menuntut terjadinya mukjizat demi mukjizat. Ini karena
masa kekanak-kanakan manusia serta kelemahan akal dan hilangnya panca
indera menuntut rahmat Allah SWT untuk mendatangkan mukjizat yang sesuai
dengan masa turunnya mukjizat tersebut dan budaya masyarakat setempat.
Adalah hal yang maklum bahwa di tengah-tengah penduduk Mekah saat itu
tidak terdapat orang-orang yang cerdas atau orang-orang yang bijak yang
mampu menyerap kata-kata yang baik. Dan kesulitan yang dihadapi oleh
Islam adalah bahwa ia tidak diturankan pada masa ini saja, tetapi Islam
diturunkan untuk setiap masa. Allah SWT mengetahui bahwa manusia telah
memasuki masa kematangan berpikir yang mengagumkan, maka hikmah-Nya
menuntut bahwa pernyataan yang pertama kali disebutkan dalam risalah-Nya
adalah "iqra'" (bacalah). Di samping itu, risalah tersebut mengandung
pemikiran yang universal, sistem yang membangun, dan hukum yang
mempesona, serta kebebasan yang diidamkan, dan manusia yang sempurna.
Adalah tidak mengurangi kehormatan para nabi sebelum Nabi Muhammad saw
di mana mereka tidak diutus di masa-masa kematangan pemikiran, tetapi
yang menambah kehormatan Nabi Muhammad saw bahwa beliau diutus di
tengah-tengah masa kematangan berpikir, dan beliau diutus sebelum
datangnya masa ini. Beliau memikul berbagai lipat cobaan yang pernah
dipikul oleh para nabi; beliau berdakwah dengan menanggung berbagai
lipat godaan dan cobaan; beliau mengalami siksaan yang pernah dialami
oleh semua para nabi; beliau mencintai Allah SWT sebagaimana para nabi
mencintai-Nya. Allah SWT memuliakannya ketika beliau mengimami mereka di
saat salat pada saat beliau melakukan Isra' dan Mi'raj. Meskipun
demikian, ketika beliau keluar pada suatu hari menemui
sahabat-sahabatnya dan mendapati mereka mengutamakan para nabi dan
mendahulukannya atas mereka, maka beliau justru menampakkan kemarahan
dan wajahnya berubah. Beliau berkata: "Janganlah kalian mengutamakan aku
atas Yunus bin Mata."
Melalui pernyataan itu, beliau berusaha meletakkan suatu pondasi
pemikiran yang harus dilalui oleh kaum Muslim di mana para nabi memang
memiliki derajat tertentu di sisi Allah SWT. Boleh jadi ada nabi yang
lebih afdal atau yang lebih mulia daripada yang lain. Siapakah yang
menetapkan hal itu? Tidak ada seorang pun selain Allah SWT. Ada pun kaum
Muslim hendaklah mereka berhenti pada batas tertentu yang seharusnya
mereka berikan berkaitan dengan sopan santun terhadap para nabi. Selama
Allah SWT menyampaikan shalawat kepada rasul sebagai bentuk penghormatan
dan memerintahkan mereka untuk menyampaikan shalawat kepadanya, dan
selama Rasulullah seperti nabi-nabi yang lain, maka hendaklah mereka
juga bershalawat kepada semua nabi tanpa perbedaan, meskipun pada bentuk
shalawat itu sendiri.
Sementara itu, bayi yang mungil itu yang lahir di Mekah bergerak setelah
tahun gajah. Kemudian berita tersebar di sana sini dan Sampailah ke
telinga kakeknya bahwa cucunya telah dilahirkan. Abdul Muthalib segera
menuju ke tempat itu dan membawa cucunya yang yatim lalu berkeliling
dengannya di Ka'bah sambil memikirkan namanya. Abdul Muthalib tidak
merasa terpukau dengan nama-nama yang mulai beredar di benaknya. Ia
tampak bingung menentukan nama yang paling tepat buat cucunya, bahkan
kebingungannya itu berlanjut sampai enam hari, sehingga sang Nabi
disunat. Ketika malam telah menyelimuti kawasan Mekah, datanglah
kepadanya suara yang sama yang dulu pernah dilihatnya dan didengarnya
yang memerintahkannya untuk menggali zamzam. Di tengah-tengah tidurnya,
suara itu membisikkan kepadanya bahwa nama cucunya berasal dari al-Ham,
yang berarti Muhammad atau Ahmad.
Orang-orang Quraisy bertanya kepada Abdul Muthalib: "Nama apa yang
engkau berikan kepada cucumu?" Abdul Muthalib menjawab sambil mengingat
bisikan suara yang didengarnya saat mimpi, "Muhammad." Nama tersebut
sebenamya tidak umum di kalangan orang-orang Jahilliyah. Mereka
bertanya, "Mengapa Abdul Muthalib tidak memakai narna-nama
kakek-kakeknya dan nama-nama yang biasa dipakai di kalangan mereka."
Abdul Muthalib menjawab: "Aku ingin Allah SWT memujinya di langit dan
manusia memujinya di bumi."
Kami tidak mengetahui dorongan apa yang mendikte Abdul Muthalib untuk
menyatakan kalimat tersebut. Apakah kalimat itu bersumber dari realitas
kebanggaan orang-orang Arab yang populer atau berasal dari realitas
kebanggaan tradisional? Atau, apakah berangkat dari realitas kegembiraan
yang dalam dengan kelahiran si cucu, ataukah kalimat itu bersumber dari
suasana ruhani yang jernih dan bisikan alam gaib? Tentu kami tidak bisa
menjawab. Yang dapat kami ketahui adalah bahwa seseorang tidak akan
layak menyandang predikat manusia yang dipuji di bumi dan dipuji oleh
Allah SWT di langit seperti predikat yang disandang oleh Muhammad bin
Abdillah.
Nabi Muhammad saw muncul ke alam wujud dalam keadaan yatim. Beliau
ditinggalkan oleh ayahnya saat beliau masih janin di dalam perut ibunya.
Allah SWT berfirman:
"Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?" (QS. adh-Dhuha: 6)
Allah SWT melindunginya. Orang-orang sufi mengatakan bahwa sebab-sebab
kemanusiaan seperti adanya kakeknya Abdul Muthalib dan bagaimana ia
mengasuhnya dan melindunginya tidak lain hanya bentuk lahiriah yang
tidak begitu penting, sedangkan bentuk batiniah yang sebenarnya adalah
kita berada di hadapan manusia yang dilindungi dan diasuh oleh Tuhannya
sejak masih kecil. Allah SWT mendidiknya saat beliau masih kecil, dan
mengujinya dengan keyatiman saat beliau masih janin serta mengujinya
dengan kelaparan sejak masih kecil, dan dewasa dengan kematian si ibu,
saat beliau masih kecil dengan keterasingan di tengah-tengah keramaian,
dan dengan terjaga di tengah-tengah tidur serta dengan penderitaan demi
penderitaan. Allah SWT telah menyiapkannya sejak usia dini untuk memikul
beban risalah terakhir.
Selanjutnya, ibunya seringkali memeluknya lebih dari sebelumnya. Ia
melihat bahwa banyak dari wanita-wanita yang menyusui tidak berkenan
untuk mengasuhnya. Adalah sudah menjadi tradisi yang berkembang di Mekah
di mana keluarga-keluarga yang mulia mengirim anaknya ke kawasan dusun
agar anak tersebut menyerap dan menghirup udara segar serta memperoleh
mainan yang memadai. Dan biasanya wanita-wanita yang menyusui anak-anak
lebih tertarik menyusui anak-anak dari orang-orang kaya. Namun ketika
pemimpin manusia seorang yang fakir, maka wanita-wanita yang biasa
menyusui tidak berminat kepadanya.
Marilah kita telusuri bagaimana Halimah binti Abi Duaib menceritakan
kisahnya bersama anak kecil yang disusuinya: "Saat itu terjadi musim
tandus dan kami tidak memiliki sesuatu sehingga aku dan suamiku
mengalami kemiskinan yang luar biasa. Lalu kami menetapkan keluar ke
Mekah dan menemani wanita-wanita dari Bani Sa'ad. Kami semua mencari
anak-anak yang masih menvusu agar orang tua mereka dapat membantu kami
untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Binatang yang aku tunggangi sangat lemah dan sangat kurus yang itu semua
disebabkan oleh kekurangan makanan. Bahkan kami khawatir kalau-kalau ia
berhenti di tengah perjalanan dan mati. Dan kami tidak tidur semalaman
karena melihat kondisi anak kecil yang bersama kami. Ia menangis karena
tidak menemukan makanan yang dapat dimakannya. Ia menangis karena
kelaparan dan tidak mendapat air susu, baik dari air susuku maupun air
susu unta yang dibawa oleh suamiku, sehingga kami tidak dapat memuaskan
dahaganya. Di tengah-tengah malam, aku merasakan keputusasaan. Aku
bertanya-tanya bagaimana aku dapat melakukan sesuatu dalam keadaan yang
demikian.
Akhirnya, kami sampai di Mekah. Sementara itu, wanita-wanita yang ingin
mencari anak-anak yang dapat mereka susui telah mendahului kami. Mereka
mengambil anak-anak kecil yang mereka sukai, kecuali satu anak, yaitu
Muhammad di mana ayahnya telah meninggal dan ia berasal dari keluarga
yang miskin meskipun sebenarnya kedudukannya sangat mulia di antara
tokoh-tokoh Quraisy. Oleh karena itu, wanita-wanita enggan untuk
mengasuhnya. Namun aku dan suamiku tidak sepaham dengan mereka karena
aku tidak peduli dengan keyatiman dan kcfakirannya. Kemudian aku malu
untuk kembali dan tidak mengambil bayi yang dapat aku susui kemudian. Di
samping itu, aku malu jika mendapat cercaan dari wanita-wanita itu.
Lalu aku merasakan adanya kasih sayang yang memenuhi hatiku terhadap
anak kecil yang tampan itu yang akan diganggu oleh udara yang kotor."
Kisah tersebut mengatakan bahwa saat anak-anak kecil mendapatkan
wanita-wanita yang menyusuinya, maka Muhammad bin Abdillah sedang tidur
dalam keadaan lapar di ranjangnya yang kasar, tanpa disusui oleh siapa
pun. Suatu hikmah yang tinggi berkehendak agar bayi yang masih menyusui
itu menghadapi dunia dalam keadaan yatim dan dalam keadaan kelaparan
agar ia dapat merasakan penderitaan anak-anak yatim dan orang-orang yang
lapar sebelum ia menyelamatkan mereka.
Halimah mengatakan bahwa ia meyakinkan suaminya bahwa ia merasakan
keinginan yang kuat untuk mengambil anak yatim ini, sehingga suaminya
menyetujuinya. Halimah tidak mengetahui rahasia keinginannya yang samar
agar ia kembali untuk mengambil anak yatirn yang masih menyusu ini. Ia
tidak mengetahui bahwa Allah SWT telah menanamkan rasa cinta kepada anak
kecil itu dalam hatinya seperti Allah SWT menanamkan cinta kepada Musa
pada hati isteri Fir'aun. Jika Musa menolak wanita-wanita lain untuk
menyusuinya kecuali ibunya setelah Allah SWT mencegahnya dari susuan
wanita-wanita lain agar ibunya merasa bahagia dan tidak bersedih, maka
Muhammad bin Abdillah—seorang anak kecil yang masih menyusu dan
mulia—-justru ditolak oleh wanita-wanita yang menyusui, sedangkan ia
sendiri tidak pernah menolak seseorang pun.
Halimah kembali kepadanya dan ia memberitahu bahwa ia akan mengasuhnya.
Nabi Muhammad saw adalah seorang yang mulia. Halimah meletakkan
tangannya di dadanya, sehingga anak kecil itu tertawa. Halimah mencium
di antara kedua matanya. la meletakkannya di kamarnya. Halimah
mengetahui bahwa kedua air susunya telah kering, namun tiba-tiba air
susunya memancar dengan keras sebagai bentuk kasih sayang dan tanda
kebesaran dari Allah SWT. Kini Halimah pun dapat menyusuinya. Apakah itu
merupakan hikmah yang tinggi di mana anak kecil tersebut merasa cukup
dengan sesuatu yang sedikit? Ataukah anak kecil itu sudah dapat mendidik
dirinya untuk zuhud dan qanaah sebelum ia mendidik orang-orang dewasa
tentang pengorbanan dan kesatriaan?
Halimah kembali ke gurun Bani Sa'ad dan ia membawa Muhammad bin
Abdillah. Belum lama ia menyaksikan tanahnya yang tandus sehingga
tiba-tiba kebaikan dunia terbuka dan mekar di hadapanya, di mana bumi
dipenuhi dengan kehijau-hijauan setelah mengalami masa tandus.
Pohon-pohon berbuah dan buah kurma tampak berseri-seri setelah
sebelumnya layu, bahkan susu-susu binatang pun mulai tampak banyak.
Allah SWT memberikan berkah-Nya kepada tempat tersebut. Halimah
mengetahui bahwa kabaikan ini telah datang bersama kedatangan anak kecil
yang diberkahi, sehingga cintanya kepada anak itu semakin bertambah.
Bahkan suaminya pun menjadi tawanan cinta yang lain kepada Muhammad saw.
Pada suatu hari ia berkata kepada isterinya: "Apakah engkau mengetahui
wahai Halimah bahwa engkau telah mengambil seorang anak yang mulia?"
Halimah berkata: "Anak kecil itu tidak menangis dan tidak berteriak
kecuali ketika ia telanjang." Ketika anak kecil itu gelisah di tengah
malam dan tidak tidur, maka Halimah membawanya keluar dari kemah dan ia
berhenti bersamanya di bawah sinar bintang. Saat itu anak itu tampak
bergembira ketika menyaksikan langit. Setelah kedua matanya terpuaskan
oleh pandangan ke arah langit, ia pun mulai tidur.
Ketika anak itu mencapai tahun yang kedua, maka ia telah disapih,
sehingga ibunya ingin mengambilnya, tetapi Halimah tidak kuat untuk
menahan perpisahan ini. Halimah menjatuhkan dirinya di hadapan kedua
kaki sang ibu dan ia mulai menciuminya dan ia meminta agar membiarkannya
bersama anaknya sehingga anak itu benar-benar kuat dan dapat kembali
menghirup udara segar gurun. Akhirnya, Rasulullah saw tinggal di tempat
Bani Sa'ad sampai lima tahun. Dan pada masa lima tahun ini terjadi
peristiwa penting yang terkenal dengan peristiwa pembelahan dada.
Kehendak Ilahi telah menetapkan kepada Ruhul Amin, yaitu Jibril untuk
menemui Muhammad bin Abdillah dan membelah dadanya dengan perintah Ilahi
serta menyuci hatinya dengan rahmat dan mengeringkannya dengan cahaya
dan mengeluarkan bagian dunia darinya.
Seperti biasanya Rasulullah saw keluar pada suatu hari bersama saudara
susuannya dengan menunggangi sekawanan domba menuju tempat pengembalaan.
Di tengah hari, saudaranya berlari-lari dalam keadaan takut dan
menangis sambil berteriak bahwa Muhammad telah terbunuh. Muhammad
diambil oleh dua orang laki-laki yang memakai baju yang putih lalu kedua
orang itu menelentangkannya dan membelah dadanya.
Mendengar hal itu, Halimah sangat kaget dan terpukul. Ia segera pergi
sambil berlari mencari Muhammad dan diikuti oleh suaminya yang mengikuti
petunjuk anak kecil dari saudara Muhammad. Akhirnya, mereka menemukan
Muhammad sedang duduk di atas tanah di mana wajahnya tampak pucat dan
kedua matanya menyala.
Halimah dan suaminya mencium dengan lembut dan mulai menampakkan kasih
sayangnya. Kemudian mereka bertanya, "apa yang terjadi?" Muhammad
menjawab: "Ketika aku memperhatikan domba-domba yang sedang bermain aku
dikagetkan dengan kedatangan dua orang yang memakai pakaian yang putih.
Mula-mula aku menyangka bahwa mereka adalah burung yang besar, namun
ternyata aku salah. Mereka adalah dua orang yang tidak aku kenal yang
memakai pakaian warna putih. Salah seorang dari mereka berkata kepada
temannya dengan menunjuk ke arahku, "Apakah ini anaknya?" Yang lain
menjawab, "benar." Aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Lalu mereka
mengambilku dan menidurkan aku serta membelah dadaku dan mereka
mengambil sesuatu darinya hingga mereka mendapatinya dan membuangnya
jauh-jauh. Setelah itu, mereka bersembunyi laksana bayangan."
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Anas dan juga diriwayatkan oleh Muslim
dan Ahmad. Para mufasir berbeda pendapat tentang simbolisme yang dalam
ini. Sebagaian besar ulama menakwilkan peristiwa tersebut. Pakar-pakar
klasik, seperti Qurthubi berpendapat bahwa peristiwa itu diisyaratkan
oleh firman-Nya: "Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?. "
(QS. Alam Nasyrah: 1)
Sedangkan tokoh-tokoh hadis, seperti Ghazali berpendapat bahwa manusia
istimewa seperti Muhammad saw tidak mungkin terlepas dari bimbingan
Ilahi dan tidak mungkin terkena waswas sekecil apa pun yang biasa
menimpa manusia biasa. Jika suatu kejahatan menjadi suatu gelombang yang
memenuhi cakrawala, maka di sana terdapat hati yang segera memungutnya
dan terpengaruh dengannya, namun hati para nabi dengan adanya bimbingan
Allah SWT tidak akan terpanggil dan tidak terkena arus kejahatan
tersebut.
Dengan demikian, usaha para nabi terfokus pada peningkatan kemajuan atau
ketinggian, bukan memerangi kerendahan. Diriwayatkan oleh Abdillah bin
Mas'ud bahwa Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada seseorang di antara
kalian kecuali ia diawasi oleh temannya dari kalangan jin dan temannya
dan dari kalangan malaikat." Para sahabat berkata: "Apakah hal itu juga
berlaku kepadamu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Ya, tetapi Allah
SWT membantuku, sehingga ia berserah diri dan tidak memerintahkan
kepadaku kecuali dalam kebaikan."
Begitulah sikap orang-orang yang dahulu dan para ahli hadis berkaitan
dengan peristiwa pembelahan dada. Kami kira bahwa kejadian yang luar
biasa tersebut berhubungan dengan persiapan Nabi untuk melalui Isra' dan
Mi'raj. Ia merupakan perjalanan di mana Rasulullah saw akan menebus
alam angkasa dan akan mencapai alam langit. Kemudian beliau akan
melampaui alam ini, sehingga sampai di Sidratul Muntaha yang di sana
terdapat Janatul Ma'wah.
Pandangan tersebut kembali kepada pendapat kami yang mengatakan bahwa
peristiwa pembelahan dada berulang lebih dari sekali saat Rasul saw
mencapai usia lima puluh tahun. Dan peristiwa pembelahan dada terjadi
kedua kalinya pada malam Isra' dan Mi'raj.
Bukhari meriwayatkan dari Malik bin Sh'asha'a bahwa Rasulullah saw
menceritakan kepada mereka peristiwa malam Isra' di mana beliau
bersabda: "Ketika aku berada di Hathim—atau beliau berkata di Hijr—saat
aku dalam keadaan antara tidur dan bangun, maka seorang datang kepadaku
lalu ia membelah antara ini dan ini. Yaitu antara kerongkongan dan
perutnya. Beliau melanjutkan: Lalu ia mengeluarkan hatiku dan membawa
mangkok dari emas yang penuh dengan keimanan lalu ia menyuci hatiku.
Kemudian diulanginya."
Kami kira bahwa pembelahan dada merupakan bentuk simbolis yang
menunjukkan kesucian Rasul saw dan sebagai bentuk penyiapannya untuk
melalui Isra' dan Mi'raj. Itu merupakan pemberitahuan dari Ilahi bahwa
anak ini akan mencapai suatu kedudukan yang belum pernah dicapai oleh
manusia dan tidak akan dicapai manusia sesudahnya. Setelah peritiwa
pembelahan dada, berubahlah kehidupan anak kecil itu di mana sebagian
besar waktunya digunakan untuk merenung dan menyendiri. Dari roman
wajahnya tampak keseriusan yang biasanya menghiasi wajah orang-orang
dewasa.
Berlalulah hari demi hari, tahun demi tahun dan Selesailah masa
menetapnya bersama Halimah di dusun Bani Sa'ad. Beliau sangat
terpengaruh dan sangat terkesan dengan keadaan di sana. Diriwayatkan
bahwa beliau pemah mengingat masa kecilnya di Bani Sa'ad dan beliau
membanggakannya. Beliau menyebutkan pengorbanan mereka dan sikap mereka
yang baik. Beliau berkata: "Aku termasuk dari Bani Sa'ad, tanpa
bermaksud menyombongkan diri. Jika mereka berhadapan atau menyaksikan
salah seorang mereka lapar, maka mereka akan membagi makanan di antara
mereka."
Kemudian Muhammad bin Abdillah kembali ke Mekah saat usianya lima tahun.
Beliau hidup beberapa hari bersama ibunya di mana si ibu merasakan
kesedihan yang dalam atas kepergian ayahnya. Sesuai janji untuk
mengingat ayahnya yang telah pergi, Aminah menetapkan untuk mengunjungi
kuburannya di Yatsrib. Jarak antara Mekah dan Yatsrib lebih dari lima
ratus kilo meter di gurun yang kering yang jauh dari tanda-tanda
kehidupan. Anak itu menempuh peijalanan yang berat. Setelah perjalanan
yang berat ini, Muhammad bin Abdillah tinggal di tempat paman-paman dari
ibunya di Madinah selama satu bulan. Muhammad melihat rumah yang di
situ ayahnya meninggal sebelum ia dilahirkan. Ia berziarah bersama
ibunya ke kuburan yang sederhana yang ayahnya dikuburkan di dalamnya.
Mula-mula pikirannya terfokus pada keadaan yatim sambil ia mulai
memperhatikan linangan air mata ibunya yang diam.
Selesailah masa satu bulan keberadaannya di sisi paman-pamannya.
Kemudian ibunya menemaninya untuk kembali ke Mekah. Kedua anak manusia
itu sampai di pertengahan jalan. Muhammad bin Abdillah tidak mengetahui
rahasia kepucatan wajah ibunya. Lalu malaikatul maut turun di suatu
tempat yang yang bernama Abwa. Di situlah Aminah binti Wahab telah
bertemu dengan kekasihnya, Allah SWT.
Sang ibu meninggal dan meninggalkan anak satu-satunya bersama seorang
pembantu. Pembantu itu menampakkan rasa kasihnya terhadap anak kecil
yang kehilangan ayahnya saat masih janin dan kehilangan ibunya saat
berusia enam tahun. Muhammad bin Abdillah kini menjadi sendiri dan ia
dalam keadaan menangis. Ia mencapai kematangan setelah ia melewati
kesedihan kehidupan dan kerasnya kehidupan sebagai anak yatim.
Rasulullah saw pernah ditanya setelah masa diutusnya: "Bagaimana
pandanganmu?" Beliau menjawab: "Pengetahuan adalah modalku. Akal adalah
dasar agamaku. Cinta adalah pondasiku. Zikrullah adalah kesenanganku.
Dan kesedihan adalah temanku."
Allah SWT telah menyiramkan kepadanya sungai-sungai kesedihan sehingga
beliau dapat memberikan kepada manusia buah dari kegembiraan dan
ketulusan.
Anak kecil itu kembali ke Mekah dalam keadaan sedih dan ia tampak
terpaku. Lalu Abdul Muthalib, kakeknya menampakkan cinta yang luar biasa
dan penghormatan padanya. Setelah dua tahun ketika Muhammad bin
Abdillah berusia delapan tahun, maka meninggallah salah satu benteng
yang terbaik yang menjaganya, yaitu kakeknya Abdul Muthalib. Kemudian
anak kecil itu kini merenungi kakeknya laksana orang dewasa. Ia tampak
tegar seperti layaknya orang dewasa.
Kita tidak mengetahui mengapa terjadi demikian. Mengapa hikmah Allah SWT
mencegah Nabi yang terakhir untuk mendapatkan kasih sayang seorang
ayah, kasih sayang seorang ibu, dan bimbingan seorang kakek? Apakah
Allah SWT ingin memberi Nabi yang terakhir suatu kasih sayang dan cinta
yang semata-mata bersumber dari sisi-Nya? Apakah Allah SWT ingin
mendidiknya dengan kesedihan dan memberinya perasaan-perasaan yang penuh
dengan penderitaan? Apakah Allah SWT ingin membuat hati Rasul-Nya hanya
tertuju kepadanya? Dahulu Allah SWT berkata kepada Musa:
"Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku." (QS. Thaha: 41)
Dahulu Allah SWT memberi kabar gembira kepada Musa di dalam Taurat
sebagaimana Isa memberi kabar gembira di dalam Injil dengan kedatangan
seorang Nabi setelahnya yang bernama Ahmad. Dan Nabi Musa meminta kepada
Tuhannya agar memberinya dan memberi umatnya puncak keutamaan, lalu
Allah SWT menjawab bahwa Dia telah menetapkan keutamaan ini kepada Nabi
yang terakhir Ahmad dan umatnya.
Allah SWT telah memilih Musa untuk diri-Nya. Meskipun Demikian, Dia
tidak mencegahnya untuk mendapatkan kasih sayang seorang ibu dan
mendidiknya di tengah-tengah keluarganya. Namun Dia berkehendak untuk
menjadikan Nabi yang terakhir tercegah dari mendapatkan kasih sayang
seorang manusia dan cinta seorang manusia, sehingga Nabi tersebut hanya
mendapatkan kasih sayang Ilahi dan cinta Ilahi.
Allah SWT berfirman menceritakan tentang keadaan Rasul terakhir:
"Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu.
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan
petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia
memberikan kecukupan. Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu
berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta, maka
janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu maha hendaklah
kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). " (QS. ad-Dhuha: 6-11)
Makna ayat tersebut secara harfiah adalah bahwa beliau dalam keadaan
yatim lalu Allah SWT melindunginya; beliau dalam keadaan tersesat lalu
Allah SWT memberinya petunjuk; beliau dalam keadaan fakir lalu Allah SWT
memampukannya. Allah SWT melindunginya dengan mengasuhnya,
membimbingnya, dan mencukupinya. Itu adalah derajat keutamaan yang tidak
pernah dicapai oleh seseorang pun di dunia.
Setelah kematian kakeknya, maka pamannya Abu Thalib mengasuhnya. Allah
SWT telah meletakkan kecintaan pada hati pamannya, sehingga pamannya
mengutamakan Muhammad saw daripada anak-anaknya dan memuliakannya serta
menghormatinya, bahkan Abu Thalib mendudukkannya di ranjangnya yang
biasa dibentangkannya di hadapan Ka'bah di mana tidak ada seorang pun
yang duduk selainnya.
Muhammad bin Abdillah hidup di jantung gurun Mekah sebagai seorang yang
memiliki kesadaran yang tinggi di antara kaum yang sedang lalai dan kaum
yang mabuk-mabukan dan para penyembah berhala serta para pedagang
minuman keras dan para syair dan orang-orang yang berperang dan
tokoh-tokoh kabilah.
Muhammad bin Abdillah seorang yang banyak diam dan ketika usianya
semakin dewasa, maka ia bertambah banyak diam. Beliau tidak berbicara
kecuali jika diajak seseorang berbicara; beliau tidak terlibat dalam
permainan hura-hura anak-anak muda; beliau merasakan kesedihan yang
dalam; beliau sering menyendiri dan membuka matanya di hamparan
pasir-pasir. Mulutnya terdiam dan akalnya berpikir. Beliau merenungkan
di masa kecilnya bagaimana kaumnya bersujud terhadap berhala dan
terpukau dengannya; bagaimana orang-orang berakal mau bersujud kepada
batu-batu yang tidak memberikan mudharat dan manfaat dan tidak berbicara
serta tidak dapat melakukan apa-apa. Beliau mewarisi dari kekeknya
Ibrahim kebencian yang fitri terhadap dunia berhala dan patung.
Di dalam dirinya terdapat penghinaan yang besar terhadap
sembahan-sembahan dari batu ini, suatu penghinaan yang menjadikannya
tidak mau mendekat selama-lamanya terhadap patung tersebut. Namun
hatinya yang besar dipenuhi dengan kesedihan yang lebih hebat dari
kesedihan kakeknya Ibrahim. Beliau sedih karena akal manusia menyembah
batu dan emas, kesombongan serta kekuasaan penguasa; beliau mendengar
apa yang dikatakan manusia dan mengamat-amati urusan kehidupan dan
keadaan masyarakat; beliau juga menyaksikan betapa banyak pertentangan
dan perkelahian di antara manusia yang justru disebabkan oleh
masalah-masalah yang sepele, sehingga keheranan beliau semakin bertambah
dan sudah barang tentu kesedihannya pun semakin dalam. Tidakkah manusia
mengetahui bahwa mereka akan mati seperti ayahnya, ibunya, dan
kakeknya? Mengapa mereka menimbulkan pertentangan ini, hingga mereka
mendapatkan lebih banyak kejahatan?
Ketika usianya semakin bertambah, maka bertambahlah kezuhudannya dalam
hidup, dan sepak terjangnya terus bersinar memenuhi penjuru Mekah.
Beliau tidak sama dengan seseorang pun dari kalangan pemuda saat itu.
Meskipun kami kira bahwa kesedihannya disebabkan oleh hal-hal yang umum,
tetapi beliau tidak mengungkapkan kegelisahan hatinya pada seseorang
pun. Beliau belum bertujuan untuk memperbaiki masyarakat atau
kemanusiaan. Benar bahwa pertanyaan-pertanyaan kritis timbul dalam
benaknya dan ingin segera menemukan jawaban, tetapi akalnya sendiri
tidak dapat menemukan jawaban atau jalan keluar. Inilah yang dimaksud
dengan makna ayat:
"Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk." (QS. adh-Dhuha: 7)
Yang dimaksud ad-Dhalal (kesesatan) di sini ialah kebingungan akal dalam
menafsirkan kejahatan dan usaha melawannya karena ketiadaan senjata dan
kecilnya usia. Semua itu justru menambah sikap diam anak kecil itu dan
menjauhkannya dari dunia yang akan mencemari akal, sehingga akalnya
selamat dari segala noda dan tetap di bawah naungan kejernihannya.
Anak kecil itu tetap jauh dari dosa-dosa yang dilakukan oleh kaumnya
yang berupa kecenderungan untuk menyembah berhala dan cinta kekuasaan
dan kebanggaan. Ia selalu mendekat dan lebih mendekat kepada hakikatnya
yang suci; ia mampu mempengaruhi orang lain dengan jiwanya yang bersih
dan rahmatnya atau kasih sayangnya tertuju kepada manusia, bahkan kepada
binatang dan burung. Ketika ia duduk akan makan lalu ada burung merpati
berkeliling di seputar makanannya rnaka ia meninggalkan makanannya
untuk burung itu. Pada saat orang-orang memukul anjing yang mendekat
kepada makanan mereka, maka ia justru mencabut suapan yang ada di
mulutnya dan memberikannya pada anjing, kucing, anak-anak kecil, dan
orang-orang fakir. Bahkan seringkali di waktu malam ia tidur dalam
keadaan lapar karena ia memberikan makanannya ke orang lain.
Muhammad saw adalah seorang fakir yang harus bekerja agar dapat makan,
maka beliau bekerja sebagai pengembala kambing, seperti Nabi Daud, Nabi
Musa, dan nabi-nabi yang lain yang diutus oleh Allah SWT. Kemudian
beliau melakukan perjalanan bersama kafilah pamannya Abu Thalib menuju
Syam saat beliau berusia tiga belas tahun. Beliau menyaksikan keadaan
umat-umat yang lain, maka keheranannya semakin bertambah terhadap masa
jahiliyah ini. Ketika beliau menyaksikan orang-orang tersesat, maka
kesedihannya semakin bertambah dan hatinya semakin tersentuh dan
pikirannya semakin dalam.
Pada saat perjalanan menuju ke Syam ini terjadi suatu peristiwa terhadap
anak kecil itu. Kemungkinan besar itu justru menambah kebingungannya.
Seorang pendeta yang bernama Buhaira berdiri di jendela rumah yang
menjadi tempat peribadatannya di Suria. Tiba-tiba ia memperhatikan suatu
awan putih—tidak seperti biasanya—yang menghiasai langit yang biru.
Saat itu udara sangat terang, sehingga munculnya awan tersebut sangat
mengherankan. Kemudian pandangan Buhaira yang tertuju ke langit, kini
tertuju ke bumi di mana ia mendapati awan itu menyerupai burung yang
putih yang menaungi kafilah kecil yang menuju ke arah utara. Buhaira
memperhatikan bahwa awan tersebut mengikuti kafilah.
Jantung Buhaira berdebar dengan keras karena ia mengetahui melalui
buku-buku peninggalan kaum Masehi yang otentik bahwa seorang nabi akan
muncul ke dunia setelah Isa. Sifat dan kabar nabi tersebut diceritakan
dalam buku-buku kuno. Buhaira segera meninggalkan tempatnya, lalu ia
segera memerintahkan untuk menyiapkan makanan yang besar. Kemudian ia
mengutus seseorang untuk menemui kafilah tersebut dan mengundang mereka
untuk jamuan makan. Salah seorang mereka berkata dengan nada bercanda
kepada Buhaira: "Demi Lata dan 'Uzza, engkau hari ini tampak lain wahai
Buhaira. Engkau tidak pernah melakukan demikian kepada kami, padahal
kami telah melewati dan singgah di tempat ini lebih dari sekali. Ada
peristiwa apa gerangan wahai Buhaira?"
Buhaira menjawab: "Hari ini kalian adalah tamu-tamuku." Pertanyaan orang
tersebut tidak dijawab dengan terang-terangan. Ia sengaja
menghindarinya dan tidak menyingkapkan rahasia kemuliaan yang datangnya
tiba-tiba ini. Buhaira memberi makan mereka dan mulai memperhatikan di
antara mereka adanya seseorang yang memiliki tanda-tanda yang dibacanya
dalam kitab-kitabnya yang kuno tentang seorang rasul yang ditunggu.
Namun ia tidak menemukannya, hingga ia bertanya kepada mereka: "Wahai
kaum Quraisy, apakah ada seseorang yang tidak hadir bersama jamuanku
ini?" Mereka menjawab: "Benar, ada seseorang yang tidak ikut bersama
kami. Kami meninggalkannya karena ia masih kecil." Buhaira berkata:
"Sungguh aku telah mengundang kamu semua. Panggilah ia supaya hadir
bersama kami dan memakan makanan ini." Salah seorang lelaki dari kaum
Quraisy berkata: "Demi Lata dan 'Uzza, sungguh tercela bagi kami untuk
meninggalkan Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib dari jamuan yang
kami diundang di dalamnya.
Pamannya meminta maaf karena Muhammad masih kecil, kemudian sebagian
mereka berdiri dan menghadirkannya. Belum lama Buhaira memandangi
kejernihan dua mata Muhammad, sehingga ia mengetahui bahwa ia telah
mendekati tujuannya. Buhairah terpaku ketika memandangi Muhammad bin
Abdillah sehingga kaum selesai makan dan mereka berpisah.
Muhammad bin Abdillah duduk sendirian. Buhaira menghampirinya dan
berkata: "Wahai anak kecil, demi kedudukan Lata dan 'Uzza, sudikah
kiranya engkau memberitahu aku terhadap apa yang aku tanyakan kepadamu?"
Buhaira ingin mengetahui sikap anak ini terhadap berhala kaumnya. Anak
kecil itu menjawab: "Jangan engkau bertanya kepadaku tentang Lata dan
'Uzza. Demi Allah, tidak ada sesuatu yang lebih aku benci daripada
keduanya." Buhaira berkata: "Dengan izin Allah aku ingin bertanya
kepadamu." Anak kecil itu menjawab: "Tanyalah apa saja yang terlintas di
benakmu."
Buhaira bertanya kepada anak kecil itu tentang keluarganya, kedudukannya
di tengah-tengah kaumnya, mimpinya dan pendapat-pendapatnya. Dialog
tersebut terjadi jauh dari pantauan kaum karena mereka tidak akan diam
ketika mendengar bahwa Muhammad membenci berhala-berhala mereka.
Kemudian Muhammad menjawab pertanyaan-pertanyaan Buhaira dengan yakin,
hingga membuat Buhaira mantap bahwa ia sekarang duduk bersama seorang
Nabi yang kabar berita gembiranya disampaikan oleh Nabi Isa sebagaimana
disampaikan oleh nabi-nabi dari kaum Israil dari kaum Nabi Musa. Setelah
itu, ia bangkit meninggalkan anak kecil itu dan menuju ke Abu Thalib ia
bertanya tentang kedudukan anak kecil itu di sisinya. Abu Thalib
menjawab: "Ia adalah anakku." Buhaira berkata: "Tidak mungkin ayahnya
masih hidup." Abu Thalib berkata: "Benar. Ia anak saudaraku. Ayahnya dan
ibunya telah meninggal." Buhaira berkata: "Engakau benar, kembalilah
kamu ke negerimu dan hati-hatilah dari kaum Yahudi." Abu Thalib bertanya
tentang rahasia dari apa yang dikatakan oleh pendeta itu. Pendeta itu
mulai mengetahui bahwa ia telah berbicara lebih dari yang semestinya.
Lalu ia berkata: "Ia akan memiliki kedudukan tertentu." Buhaira tidak
menjelaskan lebih dari itu dan ia tidak menentukan kedudukan yang
dimaksud.
Lalu berlalulah peristiwa tersebut tanpa terlintas dari benak seseorang
atau tanpa menggugah kesadaran di antara mereka. Kisah tersebut tidak
membawa pengaruh berarti bagi kafilah atau kepada Nabi sendiri. Kafilah
menganggap bahwa penghormatan pendeta kepada Muhammad bin Abdillah dan
memberitahunya akan kedudukan yang akan disandangnya adalah semata-mata
basa-basi yang biasa diucapkan di atas meja makan ketika para tamu
memuji kedermawanan tuan rumah. Dan sebagai balasannya, orang yang
mengundang akan memuji akhlak para pemuda mereka. Alhasil, peristiwa
tersebut tidak membawa pengaruh apa pun, baik bagi Muhammad maupun bagi
sahabat-sahabat yang ikut dalam kafilah, sehingga mereka tidak
mengetahui rahasia perkataan pendeta dan mereka tidak menyebarkan
pembicaraan yang mereka dengar darinya. Peristiwa itu tersembunyi
meskipun ia sungguh sangat membingungkan Muhammad.
Apa gerangan yang terjadi antara dirinya dan orang-orang Yahudi,
sehingga pendeta perlu mengingatkan pamannya dari ancaman mereka? Apa
kedudukan yang akan diembannya seperti yang diceritakan oleh pendeta
itu? Dan apa hubungan semua ini dengan kesedihan-kesedihannya yang dalam
serta kebingungannya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sedikit demi
sedikit berputar di benaknya. Kemudian seperti biasanya kafilah tersebut
kembali ke Mekah. Muhammad kembali menuju keterasingannya. Ia
memperhatikan keadaan alam di sekitarnya. Kemudian ia melihat kembali
penderitaannya; ia berusaha untuk mendapatkan kehidupannya; ia mengabdi
kepada manusia dan mengorbankan apa saja demi kemuliaan mereka.
Hari demi hari berlalu. Muhammad saw tampil dengan pakaian ketulusan
kasih sayang, dan amanah serat cinta, sebagaimana pelita dipenuhi oleh
cahaya, sehingga kejujurannya terkenal di tengah-tengah kaumnya. Bahkan
kejujuran dan amanatnya tidak bakal diragukan oleh seseorang pun dari
penduduk Mekah. Dan ketika beliau datang dengan membawa risalahnya dan
beliau ditentang mayoritas masyarakatnya, namun tak seorang pun yang
berani meragukan kejujurannya. Mereka hanya menuduh bahwa ia terkena
sihir atau kesadarannya telah hilang.
Pada tahun ketiga belas dari masa kenabian, ketika semua kabilah sepakat
untuk membunuhnya dan mengucurkan darahnya di antara para kabilah dan
mereka mengepung rumahnya, maka di saat situasi yang sulit ini beliau
menetapkan untuk berhijrah. Tetapi sebelumnya beliau mewasiatkan kepada
Ali bin Abi Thalib, anak pamannya untuk tetap tinggal di rumahnya agar
ia dapat mengembalikan amanat yang dititipkan oleh semua musuhnya dan
para sahabatnya. Ini beliau maksudkan agar Ali dapat menyerahkan amanat
tersebut di waktu pagi kepada para pemiliknya. Anda dapat melihat betapa
para musuhnya merasa aman terhadap harta mereka ketika dijaga oleh
Muhammad saw.
Hari demi hari berlalu dan tahun demi tahun pun lewat. Sementara itu,
kesucian dan kejujuran Muhammad saw semakin meningkat. Dan di tengah
lautan keheningan yang mencekam, ketika Muhammad bin Abdillah
menyebarkan layar perahunya yang putih, maka ia harus menemui hakikat
azali yang bertemu dengan-nya semua nabi dan rasul. Muhammad bin
Abdillah mengetahui bahwa alam yang besar ini mempunyai Tuhan Pengatur
dan Pencipta; Tuhan yang Maha Satu dan yang tiada tuhan selain-Nya.
Muhammad dijauhkan dari suasana kenikmatan dan foya-foya yang biasa
dilakukan oleh para pemuda seusianya. Dan ketika pemuda Mekah
berbangga-bangga dengan banyaknya minuman keras yang mereka minum dan
banyaknya bait-bait syair yang mereka katakan tentang wanita, maka
Muhammad bin Abdillah telah menemukan jati dirinya di suatu gua yang
tenang di gunung yang besar. Ia memilih untuk menghabiskan waktunya di
dalam keheningan gua tersebut. Ia merenung dengan hatinya tentang
keadaan alam; ia memikirkan keagungan rahasia-rahasianya dan rahmat
Penciptanya serta kebesaran-Nya.
Pada tahun yang kedua puluh lima, beliau mengenal Ummul Mu'minin,
isterinya yang pertama, yaitu Khadijah binti Khuwailid yang saat itu
berusia empat puluh tahun. Khadijah adalah wanita yang mulia dan
mempunyai cukup harta. Ia berdagang dan suaminya telah meninggal. Banyak
orang yang mendekatinya dengan alasan untuk mendapatkan kekayaannya.
Khadijah mencari seseorang laki-laki yang dapat membawa harta
dagangannya menuju Syam, lalu Khadijah mendengar berita yang cukup
banyak berkenaan dengan kejujuran dan amanat serta kesucian Muhammad bin
Abdilah. Akhirnya, Khadijah mengutus Muhammad saw untuk membawa barang
dagangannya. Muhammad saw pergi dalam perjalanannya yang kedua ke Syam
saat beliau berusia dua puluh lima tahun. Allah SWT memberkati
perjalannya di mana beliau kembali dengan membawa keuntungan yang
berlipat ganda yang diserahkannya kepada Khadijah. Muhammad saw tidak
peduli dengan harta Khadijah dan tidak peduli kepada kecantikannya;
Muhammad saw hanya memandang kemuliaan yang dipegangnya. Kemudian
Khadijah merasakan getaran cinta terhadap Muhammad saw. Dan Akhirnya, ia
mengutarakan keinginan untuk menikah dengannya, hingga Muhammad saw pun
setuju.
Paman Muhammad saw, Abu Thalib berdiri dan menyampaikan khotbah pada
saat perayaan perkawinannya: Muhammad saw tidak dapat dibandingkan
dengan seorang pun dari kaum Quraisy karena ia adalah seorang yang
mulia, baik dari sisi akal maupun ruhani. Meskipun ia seorang yang fakir
namun harta adalah naungan yang akan hilang dan benda yang bersifat
sementara.
Setelah menikah, Muhammad saw justru mendapatkan kesempatan yang lebih
besar untuk merenung dan menyendiri serta beribadah. Kemudian kehidupan
yang dijalaninya justru meningkatkan kemuliaannya, sehingga keutamaannya
tersebar di sana sini. Beliau tidak pernah terlibat dalam pergulatan
yang keras untuk memperebutkan materi-materi dunia. Beliau selalu
menggunakan akal sehatnya daripada terlibat dalam kesesatan mereka dan
kegelapan berhala yang menyelimuti banyak orang pada saat itu. Kemudian
usianya kini mendekati empat puluh tahun.
Setelah merasakan kesunyian di tengah-tengah masyarakat, beliau lebih
memilih untuk menjauh dari mereka. Beliau mencari-cari hakikat, sehingga
Allah SWT membimbingnya untuk menyendiri di gua Hira. Akhirnya, beliau
dapat keluar dari Mekah. Beliau berjalan beberapa mil. Kemudian beliau
mulai mendaki dan mendaki. Setiap kali ia mendaki gunung, maka tempat
itu semakin luas. Udara tampak lembut dan tersingkaplah hijab, dan
pandangan semakin terbentang. Kemudian beliau memasuki gua. Keheningan
menyelimuti segala sesuatu, namun hati tetap sadar dan tidak ada sesuatu
yang dapat menghalang-halangi pandangan internal yang dalam. Dalam
suasana kesunyian terkadang lahirlah pemikiran-pemikiran yang cemerlang
yang kemudian menyebarkan sayap-sayapnya dan membumbung, pertama-tama di
atas angkasa gua lalu tersebar menuju ke tempat yang lebih luas. Tidak
ada sesuatu pun yang membatasinya atau mengekang kebebasannya.
Kita tidak mengetahui pikiran-pikiran apa yang terlintas pada manusia
termulia dan terbesar di atas bumi itu saat beliau duduk di gua Hira
beberapa bulan. Apa yang beliau pikirkan dan apa gerangan yang beliau
risaukan? Mimpi apa yang ada di benaknya dan perasaan-perasaan apa yang
lahir dalam hatinya? Bagaimana keadaan batu-batu yang ada di sisinya?
Apakah atom-atom batu yang berputar di sekelilingnya menyahuti tasbihnya
yang diam, seperti atom-atom batu yang bersahut-sahutan bersama Daud
saat ia membaca kitabnya Zabur.
Kami tidak mengetahui secara pasti bentuk kelahiran yang terjadi dalam
dirinya. Yang kita ketahui adalah bahwa beliau tidak berpikir tentang
kenabian dan beliau tidak berpikir untuk memberikan petunjuk kepada
manusia; beliau tidak melakukan praktek-praktek sufisme karena beliau
sudah menjadi seorang sufi sebelum diutus di tengah-tengah manusia.
Kemudian Allah SWT memilihnya sebagai Nabi lalu beliau meninggalkan
uzlahnya dan turun ke medan serta membawa senjata. Beliau mempertahankan
kebenaran, sehingga beliau bertemu dengan Tuhannya. Mula-mula lahirlah
tasawuf dan setelahnya lahirlah jihad di jalan Allah SWT. Tasawuf
bukanlah puncak atau hasil sebagaimana diyakini oleh manusia sekarang,
tetapi ia adalah permulaan jalan yang panjang di mana pada akhirnya yang
bersangkutan menggunakan senjata sebagai bentuk usaha untuk membela
manusia dan kehormatannya.
Pada suatu hari beliau duduk di gua Hira dan tiba-tiba beliau dikagetkan
dengan kedatangan Jibril yang berdiri di depan pintu gua. Malaikat
tersebut memeluknya erat-erat lalu memerintahkannya untuk membaca sambil
berkata: "Bacalah!" Muhammad bin Abdillah menjawab: "Aku tidak mampu
membaca." Beliau ingin mengatakan bahwa beliau tidak mengenal bacaan dan
tulisan. Kalau begitu, apa yang harus beliau baca? Malaikat kembali
memeluknya dengan kuat sehingga Rasulullah saw menganggap bahwa ia
meninggal. Kemudian malaikat melepasnya dan memerintahkannya untuk
membaca. Beliau kembali menjawab: "Aku tidak bisa membaca." Malaikat
yang mulia kembali memeluknya dan kembali memerintahkan untuk membaca.
Dan lagi-lagi Rasulullah saw menjawab dengan gemetar: "Apa yang aku
baca?" Kemudian Jibril membaca permulaan ayat-ayat yang turun kepada
beliau:
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang
Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS. al-'Alaq:
1-5)
Setelah peristiwa itu, Jibril menghilang secara tiba-tiba sebagaimana ia
muncul secara tiba-tiba. Rasulullah saw merasakan dalam dirinya
kejadian yang luar biasa yang pernah dirasakan oleh Nabi Musa saat
beliau mendengar panggilan-panggilan suci di lembah Thuwa. Sebagaimana
Nabi Musa lari ketakutan, maka Muhammad bin Abdillah pun segera menuju
ke rumahnya dalam keadaan ketakutan. Ia turun ke gunung dan kembali ke
rumahnya dan kembali ke isterinya. Tubuhnya yang mulia bergetar denga
keras dan beliau merasakan ketakutan dan kegelisahan.
Apakah beliau kali ini berhubungan dengan jin atau alam perdukunan?
Apakah beliau telah mengigau sehingga beliau mendengar suara-suara dan
melihat wajah-wajah yang belum pernah dilihatnya? Rasulullah saw
mengkhawatirkan dirinya karena beliau sangat benci kepada perdukunan.
Beliau memasuki rumahnya dengan keadaan gemetar. Beliau berkata kepada
isterinya: "Selimutilah aku, selimutilah aku!" Kemudian isterinya segera
menyelimuti dengan selimut dari wol dan mengusap keringat yang berada
di keningnya. Isterinya dikagetkan dengan kepucatan wajah beliau yang
mulia dan kegemetaran tubuhnya.
Khadijah bertanya kepadanya: "Apa yang sedang terjadi?" Kemudian
Muhammad saw menceritakan secara detail apa yang dialaminya. Kemudian ia
berkata: "Sungguh aku khawatir terhadap diriku." Khadijah mengetahui
bahwa ia sekarang berhadapan dengan masalah yang serius, suatu berita
gembira yang ia tidak mengetahui hakikatnya, suatu berita gembira yang
seharusnya tidak dihadapi Muhammad saw dengan kekhawatirkan dan
kegelisahan.
Khadijah berkata dengan maksud untuk meredakan ketakutannya: "Tenanglah.
Demi Allah, Allah SWT tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Sungguh
engkau adalah seorang yang baik, yang menyambung tali silaturahmi, yang
berbicara dengan jujur, dan yang menghormati tamu."
Meskipun kalimat-kalimat tersebut penuh dengan kedamaian dan kesejukan,
tetapi kegelisahan Rasul saw juga belum hilang. Kemudian Khadijah pergi
bcrsama beliau ke rumah Waraqah bin Nofel, yaitu anak dari paman
Khadijah. Waraqah adalah seorang Nasrani dan dia mampu menulis kitab
dalam bahasa Ibrani dan ia cukup mengetahui kitab-kitab Taurat dan Injil
di mana matanya telah buta karena masa tua.
Khadijah berkata kepadanya: "Wahai putra pamanku, dengarlah dari anak
saudaramu." Waraqah berkata: "Wahai anak saudaraku, apa yang engkau
lihat?" Rasulullah saw menceritakan apa yang dialaminya secara sempurna.
Waraqah berkata sambil mengangkat kepalanya yang tampak keheranan: "Itu
adalah Namus (Jibril) yang Allah SWT turunkan kepada Musa." Sebagai
seorang yang mengerti, Waraqah bin Nofel mengetahui bahwa ia berada di
hadapan seorang Nabi yang berita gembiranya disampaikan oleh Taurat dan
Injil.
Setelah keheningan sesaat, Waraqah berkata: "Seandainya aku masih hidup
ketika kaummu mengeluarkanmu dan mengusirmu." Rasulullah saw bertanya:
"Mengapa aku harus diusir oleh mereka?'' Waraqah menjawab: "Benar, tidak
ada seorang pun yang akan datang seperti dirimu kecuali engkau akan
mengalami penderitaan dan pengusiran. Seandainya aku hadir di saat itu
niscaya aku akan menolongmu."
Demikianlah, akhirnya Islam pun dikembangkan. Kehendak Allah SWT
terlaksana dan Allah SWT telah memilih Nabi yang terakhir di muka bumi
dan orang Muslim yang pertama. Barangkali pembaca akan bertanya: Apa
hakikat dari Islam? Apabila Muhammad saw sebagai Nabi yang terakhir yang
diutus oleh Allah SWT di muka bumi dan kita mengetahui bahwa para nabi
semuanya sebagai Muslim, maka bagaimana beliau dapat dikatakan
mendahului mereka dalam keislaman dan menjadi orang Muslim yang pertama?
Islam yang dibawa oleh Muhammad saw tidak berbeda dalam esensinya dengan
Islam yang dibawa oleh Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Isa atau nabi yang
lain, tetapi yang berbeda adalah bentuknya, sedangkan esensinya tetap
seperti semula, yakni berdasarkan tauhid. Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw berbeda dalam bentuknya dengan Islam yang dibawa nabi-nabi
sebelumnya karena sebab yang penting, yakni bahwa Islam ini merupakan
ajaran yang universal dan berisi aspek kemanusiaan yang abadi. Islam
tidak terbatas atas orang-orang Arab tetapi ia berlaku atas semua
golongan. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw tidak terbatas untuk
kabilah tertentu atau bangsa tertentu atau bumi tertentu atau lingkungan
tertentu atau zaman tertentu, tetapi ia untuk semua manusia. Atau
dengan kata lain, ia merupakan ajakan untuk membangkitkan akal manusia
di mana saja mereka berada tanpa ada batasan tempat atau waktu.
Universalitas ajaran Islam tidak dikenal pada risalah-risalah Ilahi
sebelumnya di mana setiap risalah itu diperuntukkan bagi bangsa tertentu
dan zaman tertentu. Oleh karena itu, mukjizat-mukjizat yang mengagumkan
yang bersifat temporal seringkali mendukung risalah-risalah yang
dahulu. Ketika Islam datang sebagai bentuk ajakan untuk menghidupkan
akal manusia secara bebas, maka di sana tidak ada alasan untuk membawa
mukjizat yang mengagum-kan. Hanya ada satu kata yang dapat dijadikan
pembuka untuk berdakwah dan membuka akal manusia, yaitu kata "iqra"'
(bacalah). Dan hendaklah bacaan ini berdasarkan nama Allah SWT. Dengan
nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal
darah. Coba Anda renungkan permulaan pertumbuhan dan puncak pencapaian.
Di sini tersembunyi mukjizat yang hakiki jika Anda berusaha mencari
mukjizat yang hakiki.
Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha Mulia, yang memberikan nikmat penciptaan
dan rezeki serta rahmat dan kelembutan. Dia Maha Mulia yang mengajarkan
manusia apa saja yang tidak diketahuinya. Demikianlah esensi dari Islam,
yaitu ajakan untuk membaca. Ia adalah dakwah yang menunjukkan kedudukan
ilmu. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orangyang berilmu (ulama)." (QS. Fathir: 28)
Takut kepada Allah SWT tidak akan muncul kecuali berdasarkan ilmu.
Mustahil kebodohan dengan bentuk apa pun akan melahirkan rasa takut.
Oleh karena itu, dalam pandangan Islam ilmu adalah hal yang pokok. Ia
bukan kemewahan dan bukan hanya perhiasan. Kaum Muslim telah mengalami
masa kemuliaan dan kejayaan dan mereka berhasil menguasai bumi ketika
mereka memahami Islam secara benar, tetapi ketika pemahaman ini jauh
dari mereka, maka mereka kembali dalam keadaan yang paling buruk, bahkan
lebih buruk daripada masa jahiliah.
Jadi, ilmu dalam Islam merupakan tujuan yang mulia dan utama dalam
penciptaan alam wujud. Kisah Nabi Adam dan Hawa, sebagaimana diceritakan
oleh Al-Qur'an adalah bukan semata-mata kisah kesalahan memakan pohon
tcrlarang, tetapi ia juga kisah yang memiliki dimensi-dimensi yang dalam
dan aspek-aspek yang beraneka ragam. Ketika Anda menyclami
kedalamannya, maka Anda akan dapat menemukan simbol-simbol dari
makna-makna yang lebih penting.
Dialog internal yang dialami oleh para malaikat tentang rahasia
pemilihan Nabi Adam untuk memakmurkan bumi dan menjadi khalifah di
dalamnya serta pengajaran yang diperoleh Nabi Adam tentang nama-nama
semuanya dan bagaimana beliau mengemukakan nama-nama tersebut kepada
para malaikat, serta ketidaktahuan mereka tentang nama-nama itu,
kemudian usaha Nabi Adam untuk memberitahu mereka tentang apa yang
diketahuinya serta pengetahuan para malaikat tentang rahasia pemilihan
Nabi Adam dan para keturunannya untuk memakmurkan bumi, semua ini
menjadikan tujuan dari penciptaan manusia adalah pencapaian ilmu atau
ma'rifah secara umum. Pandangan tersebut dikuatkan oleh firman Allah
SWT:
"Dan Ahu tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-(Ku)." (QS. adz-Dzariat: 56)
Lalu bagaimana kita memahaminya saat ini dan bagaimana generasi yang
pertama dari kaum Muslim dan dari sahabat-sahabat Rasul saw dan para
pengikutnya dan para tentaranya memahaminya? Saat ini kita memahaminya
dengan pemahamam yang sederhana. Kita mengetahui bahwa kalimat "untuk
menyembah-Ku " berarti ritualitas dalam beribadah dan aspek-aspek
lahiriahnya, seperti mengucapkan kalimat syahadat, salat, puasa, haji,
zakat dan lain-lain. Sehingga orang-orang yang salat diperbolehkan untuk
menyembah Allah SWT di negeri mereka atau di rumah-rumah mereka,
meskipun mereka hidup di bawah pemikiran orang-orang Barat dan membeli
produk-produk yang dibuat mereka serta memanfaatkan ilmu dan kecanggihan
tehnologi orang-orang Barat. Namun mereka sendiri tidak menghasilkan
apa-apa. Mereka tidak dapat memberikan kontribusi kepada kehidupan;
mereka tak ubah-nya seperti bulu yang dimainkan oleh ombak. Sedangkan
pemahaman yang dahulu berkaitan dengan kalimat tersebut sebagai berikut:
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-(Ku). " (QS. adz-Dzariat: 56)
Ibnu Abbas membacanya: "Illa liya'rifuun." (Agar mereka mengetahui).
Perhatikanlah bagaimana pentingnya perbedaan antara praktek-praktek
ibadah dengan bentuk-bentuknya dan kedalamannya yang jauh dalam ma'rifah
yang menyebabkan rasa takut kepada Allah SWT. Orang Muslim yang pertama
meyakini bahwa Allah SWT menciptakannya agar ia mengetahui Allah SWT
atau agar ia mengenal Allah SWT. Sehingga ambisi orang Muslim yang
pertama sangat mengagumkan. Mereka pergi untuk membebaskan dunia
semuanya: satu tangan berpegangan dengan Al-Qur'an dan tangan yang lain
memegang pedang untuk menghancurkan belenggu-belenggu yang menyeret
manusia kepada kesesatan.
Kemudian jatuhlah dari Islam hakikat ilmu, sehingga umat Islam tidak
dapat memimpin kehidupan dan mereka justru men-dapatkan kehinaan. Allah
SWT berfirman:
"Allah menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang
menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi
Allah hanyalah Islam." (QS. Ali 'Imran: 18)
Setelah kesaksian kepada Allah swt dan kesaksian kepada malaikat, maka
disebutlah secara langsung kesaksian kepada orang-orang yang berilmu.
Maka, adakah penghormatan terhadap ilmu yang lebih besar daripada
penghormatan ini? Ilmu dalam Islam berbeda dengan ilmu dalam peradaban
Barat. Memang benar bahwa Islam yang bertanggung jawab terhadap
tumbuhnya pandangan ilmiah dan metode eksperimental di mana berdasarkan
metode ini tegaklah peradaban Barat yang kemudian melahirkan berbagai
produksi, pembuatan, dan penemuan. Dan metode eksperimental adalah
metode al-Istiqra, yaitu suatu metode yang mengikuti bagian-bagian
terkecil (parsial) melalui jalan eksperimen yang dapat tunduk terhadap
eksperimen dan melalui jalan memperhatikan hal-hal yang tidak dapat
tunduk terhadap suatu eksperimen, atau melalui jalan matematis murni
yang membutuhkan kepada matematis murni di mana hal itu bertujuan untuk
menyingkap hukum-hukum yang menguasai benda. Sistem ini bidangnya adalah
alam dan alatnya adalah panca indera dan akal. Sistem ini dimanfaatkan
oleh seorang Eropa yang bernama Roger Bikun. Ia mengakui bahwa ia sangat
berhutang kepada kaum Muslim dan peradaban Islam.
Seorang guru yang bernama Bruicll dalam bukunya Abna' al-Insaniah
menceritakan tentang dasar-dasar peradaban Barat di mana ia berkata:
"Roger Bikun mempclajari bahasa Arab dan ilmu-ilmu Arab di sekolah
Oxford kepada guru-gurunya yang berasal dari Arab di Andalus. Dan Roger
Bikun dan Fenessis Bikun tidak dapat menisbatan keutamaan yang mereka
peroleh dalam menciptakan sistem eksperimental kepada diri mereka
sendiri. Roger Bikun hanya seorang duta dari duta-duta ilmu. Oleh karena
itu, ia tidak malu ketika menyatakan bahwa mempelajari bahasa Arab dan
ilmu-ilmu Arab adalah jalan satu-satunya untuk mengetahui kebenaran."
Demikianlah pernyataan pakar-pakar Barat yang jujur. Yang demikian ini
bisa dijadikan sanggahan terhadap orang-orang Barat yang tidak jujur
agar mereka mengetahui bahwa mereka sebenarnya mengambil senjata yang
sebenarnya berasal dari Islam. Dan jika dikatakan bahwa rahasia
kebangkitan Barat saat ini dan keunggulannya atas Timur kembali kepada
pengambilannya terhadap sebab-sebab metode eksperimental, yaitu metode
Islam, maka rahasia kehancuran Barat dan kebingungannya serta
kegelisahannya adalah karena mereka tidak menghubungkan metode tersebut
dengan kebesaran Allah SWT sebagaimana semestinya. Metode
eksperimen-tal—sebagaimana diambil orang-orang Barat—dimulai dari alam
dan berakhir kepadanya sebagai sesuatu tujuan. Jadi, ruang lingkup
pembahasan mereka adalah berkisar kepada materi, dan alat-alat
pembahasan adalah eksperimen dan pengamatan serta istiqra.
Tiada setelah alam kecuali kematian dan kematian adalah rahasia yang
misterius dan melawannya adalah hal yang mustahil. Kita tidak mengetahui
apa yang terjadi setelah kematian; kita tidak mengetahui sesuatu pun
tentang ruh. Tidak ada hubungan antara ilmu dan akhlak; tidak ada
jawaban dari ilmu tentang tujuan kehidupan ini. Kita hanya mempelajari
aspek-aspek lahiriah dan mencapai hukum-hukumnya saja. Demikianlah
pandangan Barat tentang ilmu di mana ia hanya sekadar alat dan sarana
untuk mengatur alam dan berusaha menguasainya. Sedangkan metode ilmiah
dalam Islam menyatakan bahwa gerakan atom dengan gerakan sistem tata
surya di bawah kendali Zat Yang Maha Tahu dan Zat Yang Maha Pencipta.
Ilmu dalam Islam justru membimbing manusia untuk menuju Allah SWT:
"Dan bahwasannya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesua-tu). " (QS. an-Najm: 42)
Ilmu justru mengantarkan manusia untuk mencapai rasa takut kepada Allah
SWT sebagaimana membimbingnya beribadah kepadanya dan mencintai-Nya:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu (ulama)." (QS. Fathir: 28)
Islam datang dan mengajak manusia untuk membaca, mengetahui, dan takut
kepada Allah SWT serta hanya beribadah kepadanya. Jika ilmu merupakan
sayap pertama di dalam Islam, maka sayap yang kedua adalah kebebasan.
Rasulullah saw memberitahu dan menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah SWT dan tidak ada sembahan selain Allah SWT.
Seruan ini mengisyaratkan keruntuhan tuhan-tuhan yang mengusai bumi
semuanya, baik tuhan yang berupa kepentingan-kepentingan pribadi,
kekayaan, raja, penguasa, pemikiran-pemikiran yang mengusai manusia,
warisan para kakek dan nenek, berhala-berhala yang terbuat dari batu dan
kayu, maupun berbagai macam tuhan lain yang bohong. Adalah salah jika
seseorang membayangkan bahwa kalimat "tiada Tuhan selain Allah" hanya
sekadar hiasan mulut seorang Muslim di mana segala sesuatu yang ada di
sekitarnya penuh dengan kebohongan dan tidak membenarkan apa yang
dikatakannya. Kalimat tersebut dalam Islam merupakan per-gulatan besar
bersama kegelapan yang ada pada diri manusia, suatu pergulatan yang
berakhir pada penyerahan diri; pergulatan yang akan berpindah pada
kehidupan yang lebih berat, sehingga kehi-dupan akan berserah diri. Dan
mustahil pergulatan itu akan terjadi kecuali jika terpenuhi suatu
kebebasan: kebebasan akal untuk meragukan dan menolak dan kebebasan yang
berakhir kepada pencapaian batas-batasnya dan kemampuannya serta
kebebasan yang meninggi untuk mencapai keimanan yang dalam dan kokoh.
Itu adalah tanggung jawab yang berarti bahwa ia harus memikul senjata
untuk membebaskan orang lain sebagaimana ia membebaskan dirinya sendiri.
Demikianlah esensi dari Islam, yaitu ilmu yang berdiri di atas
kebebasan dan tanggung jawab yang tumbuh dari kebebasan, dan buah
terAkhirnya adalah tauhid dalam kedalamannya yangjauh.
Jika tauhid dipahami secara benar, maka manusia akan terbebas dari
penyembahan selain Allah SWT: manusia akan bebas terhadap rasa takut
dari kematian, kekhawatiran atas rezeki, manusia akan terbebas dari
sikap bakhil dan ketakutan terhadap hari-hari yang akan datang.
Muhammad bin Abdillah datang nntuk menyerukan bahwa hanya Allah SWT yang
patut disembah dan bahwa semua manusia adalah hamba-hamba-Nya. Dcngan
membebaskan manusia dari menyembah sesama mereka, maka kebcbasan yang
hakiki telah dimulai. Rasulullah saw memberitahu bahwa kematian adalah
perpindahan dari satu rumah ke rumah yang lain. Ia bukan akhiran yang
misteri dari kehidupan yang tidak dapat dipahami, tetapi ia hanya
sekadar perpindahan. Takut kepada kematian tidak akan menyelamatkan dari
kematian itu sendiri, dan cinta kepada kehidupan tidak akan
memanjangkan ajal. Pada setiap ajal ada ketentuannya. Maka keberanian
merupakan unsur dari unsur-unsur pembentukan kepribadian Islam dan
bagian dari bagian-bagian sel yang ada dalam tubuh seorang Muslim.
Rasulullah saw juga menyatakan bahwa rezeki di dunia sudah dijamin dan ditentukan oleh Allah SWT:
"Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya. " (QS. Hud: 6)
Jibril mewahyukan kepada Rasul saw bahwa suatu jiwa tidak akan memenuhi
ajalnya sehingga rezekinya disempurnakan. Jika demikian halnya, maka
tidak ada alasan bagi manusia untuk khawatir terhadap rasa lapar dan
gelisah terhadap hari esok. Semua ini terjadi dalam ruang lingkup
mengambil atau melalui jalanjalan menuju sebab. Yakni berusaha untuk
mencapai rezeki yang merupakan kewajiban bagi orang Muslim dan percaya
terhadap kedermawan Allah SWT yang juga merupakan suatu kewajiban bagi
orang Muslim untuk mempercayainya. Allah SWT berfirman:
"Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. " (QS. adz-Dzariat: 22)
Allah SWT telah menjamin rezeki di dunia dan memerintahkan manusia untuk
berusaha mencapai rezeki di akhirat. Rezeki di dunia adalah sesuatu
yang sudah dijamin, sehingga manusia tidak perlu melakukan usaha yang
terlalu sengit untuk mencapainya. Cukup baginya untuk berusaha secara
benar dan seimbang. Sedangkan berkenaan dengan rezeki akhirat, Allah SWT
memerin-tahkan manusia untuk berusaha mencapainya karena ia adalah
rezeki yang Allah SWT tidak menjaminnya kecuali jika manusia berhasil
melampaui dua jihad: jihad yang besar dan jihad yang kecil. Jihad besar
adalah jihad melawan hawa nafsu dan jihad kecil adalah jihad melawan
musuh di medan perang.
Dengan terbebasnya seorang Muslim dari kerisauan pada kematian, rezeki,
dan rasa takut, maka Islam memberi seorang Muslim senjatanya dan
alat-alatnya dan ia memerintahkannya untuk mulai memerangi
kekuatan-kekuatan kelaliman di muka bumi. Allah SWT berfirman tentang
umat Islam:
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah." (QS. Ali 'Imran: 110)
Perhatikanlah, bagaimana Allah SWT menyebutkan amal makruf nahi mungkar
sebelum keimanan kepada Allah SWT. Ini dimaksudkan agar akal manusia
tergugah akan pentingnyajihad di jalan Allah SWT. Amal makruf dan nahi
mungkar tidak terwujud semata-mata dengan memegang tongkat dan
mencambukannya kepada punggung orang-orang Islam yang tidak salat; ia
juga tidak berupa usaha untuk menahan orang-orang Muslim yang tidak
berpuasa. Masalah itu lebih penting dan lebih besar dari sekadar
memperhatikan hal-hal yang bersifat lahiriah, sedangkan hal-hal yang
bersifat batiniah tidak diperhatikan.
Ayat tersebut berarti, hendaklah seorang Muslim membawa senjata dan
berdakwah di jalan Allah SWT serta memerangi orang-orang lalim di muka
bumi. Abu Bakar berkata: "Wahai manusia, kalian membaca ayat berikut
ini:"
"Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu. Tiadalah orang yang sesat
itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat
petunjuk," (QS. al-Maidah: 105)
Dan aku mendengar Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya ketika
masyarakat melihat orang yang lalim dan mereka tidak menghentikannya,
maka Allah SWT akan menimpakan azab kepada mereka semua."
Penafsiran Abu Bakar terhadap ayat tersebut sangat jelas artinya. Yakni
bahwa pelaksanaan ayat tersebut dapat diwujudkan dengan adanyajihad di
jalan Allah SWT dengan mengangkat senjata sebagai usaha untuk
menghentikan orang-orang yang lalim. Setelah itu, seorang Muslim dapat
mengatakan: "Aku telah melaksanakan tugasku dan tidak akan berdampak
kepadaku orang yang sesat setelah aku memberikan petunjuk."
Demikianlah pemahaman orang-orang Islam yang pertama. Maka bandingkanlah
pemahaman tersebut dengan pemahaman kita saat ini di mana kita telah
kchilangan keberanian, dan rasa takut telah menghinggapi tubuh
orang-orang Islam. Kaum Muslim lebih mengutamakan keselamatan diri
mcrcka daripada memerangi orang-orang yang lalim.
Muhammad bin Abdillah datang dengan membawa risalah Islam yang di
dalamnya terdapat perintah Ilahi untuk rnemerangi orang-orang yang lalim
dan mempertahankan kehormatan orang-orang yang tertindas di muka bumi.
Allah SWT berfirman:
"Karena itu, hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan
kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang
di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan, maka kelak akan
Kami berikan kepadanya pahala yang besar. Mengapa kamu tidak mau
berperang dijalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik
laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: 'Ya
Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang lalim penduduknya dan
berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari
sisi-Mu. " (QS. an-Nisa': 74-75)
Muhammad bin Abdillah membacakan kepada kaumnya tentang penafsiran Allah SWT berkenaaan dengan makna kejayaan yang besar:
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta
mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan
Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji
yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan
siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah?, maka
bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah
kemenangan yang besar." (QS. at-Taubah: 111)
Bacalah ayat tersebut dua kali dan renungkanlah tentang kedermawan Allah
SWT. Betapa tidak, Dia membeli jiwa orang-orang mukmin dan harta
mereka, padahal jiwa tersebut dan harta tersebut pada hakikatnya adalah
milik-Nya sendiri. Lihatlah bagaimana kemuliaan Allah SWT di mana Dia
membeli harta milik-Nya yang khusus dengan surga dan bagaimana Allah SWT
menganjurkan orang-orang Islam untuk berperang, dan Dia memberitahu
mereka bahwa urusan memerangi orang-orang lalim dan orang-orang yang
tersesat bukanlah hal yang baru atas orang-orang Islam. Allah SWT telah
memerintahkan hal tersebut dalam Injil dan Taurat. Sebagaimana Nabi Isa
diutus dengan pedang, seperti yang disebutkan dalam lembaran-lembaran
atau buku-buku orang-orang Nasrani, maka Nabi Musa pun diutus dengan
membawa pedang. Dan ketika Bani Israil berkata kepada Nabi Musa,
"pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah, dan kami hanya di
sini duduk-duduk saja,", maka kehendak Ilahi menetapkan agar mereka
mendapatkan kesesatan selama empat puluh tahun sebagai akibat dari
perbuatan mereka itu, agar generasi yang lemah dan hina itu hancur yang
mereka justru tidak memenuhi panggilan Allah SWT dan mereka membiarkan
Nabi Musa bersama Tuhannya berperang, padahal peperangan itu merupakan
tanggung jawab mereka dan tugas mereka yang harus mereka emban sebagai
pengikut Nabi Musa.
Demikianlah esensi dari ajaran Islam sebagaimana yang dibawa oleh
Muhammad bin Abdillah. Yakni ajakan untuk membaca dan menggali ilmu
serta mendapatkan kebebasan dan yang terpenting adalah usaha melawan
kekuatan-kekuatan lalim. Suatu ajakan yang universal yang tidak
dikhususkan untuk kalangan tertentu atau untuk waraa kulit tertentu atau
untuk kaum tertentu atau untuk tempat tertentu; suatu ajakan
kemanusiaan yang komprehensif yang universal yang ingin mengikat ilmu
dan kebebasan dan jihad dengan tujuan yang lebih tinggi, yaitu mencapai
tauhid kepada Allah SWT dan menyucikan-Nya serta keimanan terhadap hari
kemudian dan kebangkitan manusia semuanya di hadapan Allah SWT.
Adalah salah jika ada orang yang menganggap bahwa Islam hanya
memperhatikan aspek akhirat dan melupakan aspek duniawi. Menurut Islam
dunia adalah lembar-lembar jawaban yang akan dikoreksi di hari akhir. Ia
adalah ujian dan tempat percobaan bagi manusia agar manusia mengetahui
apakah ia layak untuk menda-patkan kemuliaan dari Allah SWT yang telah
diberikan kepada Adam. Atau apakah iajustru layak untuk jadi bagian dari
tanah neraka Jahim dan batunya, sebagaimana firman Allah SWT:
"Yang bahan bakarnya manusia dan batu. " (QS. al-Baqarah: 24)
Rasulullah saw telah menjelaskan hikmah dari penciptaan manusia,
penciptaan kehidupan dan kematian ketika beliau menyampaikan firman
Allah SWT dalam surah al-Mulk:
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amabiya. " (QS. al-Mulk: 2)
Dunia adalah rumah pergulatan. Dan Allah SWT telah menciptakan kehidupan
dan kematian agar manusia menyadari siapa di antara mereka yang terbai
amalnya. Tentu pengetahuan ini tidak akan menambah kekuasaan Allah SWT.
Pengetahuan itu justru dibutuhkan oleh manusia. Allah SWT menciptakan
manusia agar menusia mengetahui, danpengetahuan yang paling penting
adalah pengetahuan atau pengenalan terhadap diri. Dan pada hari kiamat
manusia akan mengenal dirinya secara sempurna dan ia akan mengenal
balasan yang akan diterimanya secara sempurna.
Dan barangkali mukadimah yang kami sarikan dari hari akhir ini
mengharuskan kehidupan di atas bumi dipenuhi dengan kesucian dan
kebersihan, yaitu diliputi dengan kemanusiaan yang sempurna yang di
dalamnya manusia layak untuk hidup. Demikianlah Islam yang dibawa oleh
Muhammad saw. Inilah asasnya dan hakikatnya. Itu adalah pondasi dan
hakikat yang tidak diciptakan oleh Muhammad saw dan tak didahului oleh
rasul-rasul sebelumnya. Hakikat risalah-risalah yang dulu semuanya
adalah tauhid dan mempertahankan kebenaran serta keimanan terhadap hari
akhir dan menyerahkan jiwa dan anggota tubuh hanya kepada Allah SWT.
Yang baru dalam Islam adalah ilmu, kebebasan dan universalitas ajaran
Islam serta warna keadilan yang sangat kental, sehingga sangat tepat
jika dikatakan bahwa karakter dari Islam adalah keadilan. Barangkali
bagian ini perlu diperhatikan.
Meskipun agama-agama samawi pada esensinya satu, tetapi kehendak Allah
menuntut turunnya lebih dari agama dan lebih dari satu nabi. Kehendak
tersebut menuntut agar pada setiap agama terdapat karakter yang khusus
yang menggambarkan bentuk yang paling tepat sesuai dengan kebutuhan
utama yang di situ agama itu diturunkan dan sesuai dengan waktu saat
itu. Orang-orang Yahudi misalnya, mereka hidup di tengah-tengah suasana
penyembahan berhala dikalangan orang-orang Mesir kuno. Yahudisme
diturunkan pada Bani Israil yang suka membangkang dan karena itu,
karakter utamanya adalah ketegasan (as-Sharamah) agar mereka tidak
terpengaruh dengan fenomena berhalaisme ala Mesir atau mereka terkena
pengaruh dari tindakan semena-mena Fir'aun. Dengan ketegasan inilah
agama Yahudi selamat dan dapat menjadi risalah penyelamatan dan
pembebasan.
Namun Bani Israil yang memperbudak manusia dan mempunyai hati yang keras
pada saat yang sama mereka keluar dari Fir'aun untuk masuk ke
cengkraman orang-orang Romawi di mana orang-orang Romawi justru lebih
lalim dan lebih kuat dari orang-orang Mesir. Oleh karena itu,
orang-orang Masehi bertanggung jawab untuk melakukan pembebasan baru
tetapi dengan cara yang berbeda sesuai dengan perubahan keadaan. Cara
tersebut adalah menjauhkan penggunaan kekuatan bersenjata karena
kekuatan orang-orang Romawi mengungguli kekuatan saat itu dan menguasai
bumi secara keseluruhan. Maka kemenangan yang mungkin dapat diperoleh
adalah dengan cara menghindari tindak kekerasan dan lebih mengutamakan
pendekatan cinta. Dan pada kali yang lain orang-orang Masehi memperoleh
kemenangan melalui cara kedamaian dan cinta yang disebarkannya atas
imperialisme Romawi dengan segala senjatanya dan kekuasaannya.
Adapun Islam datang sebagai agama yang terakhir dan menyeluruh yang
layak untuk diterapkan di muka bumi, sehingga Allah SWT mewariskan bumi
dan apa saja yang ada di dalamnya kepada orang-orang yang berhak
mewarisinya. Oleh karena itu, agama yang terakhir ini harus mempunyai
karakter khusus dan karakter itu adalah karakter keadilan.
Ketegasan hanya cocok untuk zaman tertentu dan kelompok tertentu dan
keadaan tertentu, sedangkan cinta adalah contoh yang tertinggi, tetapi
ia tidak dapat menjadi sesuatu tolok ukur untuk dibandingkan dengan
tindakan-tindakan tertentu atau untuk dijadikan alat untuk melakukan
sesuatu. Dan jika ia menjadi tolok ukur bagi orang-orang yang memilki
perasaan yang tinggi atau budaya yang tinggi, maka ia tidak dijadikan
tolok ukur umum dan universal. Adapun keadilan, maka ia menjadi karakter
Islam yang berarti keseimbangan dalam sifat-sifat keutamaan dan
meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Ini adalah tolok ukur yang
menyeluruh dan barometer yang akhir. Dan barangkali kebesaran keadilan
dan pengaruhnya dalam pengaturan alam bersandarkan kepada firman Allah
SWT:
"Allah menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan Dia. Yang
menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu)." (QS. Ali 'Imran: 18)
Apabila Allah SWT dalam Islam merupakan cermin yang tertinggi, maka
keadilan yang disaksikan oleh Allah SWT terhadap diri-Nya sendiri harus
menjadi karakter Islam dan kaum Muslim. Keadilan dalam Islam bukan hanya
keadilan ekonomi atau keadilan hukum atau keadilan dalam balasan,
tctapi ia mencakup semuanya. Sebelum semua ini dan sesudahnya, kcadilan
dalam Islam merupakan suatu sistem dalam kehidupan dan metode utama
dalam Islam.
Ketika Anda memalingkan pandangan Anda dalam Islam, maka Anda akan
menemukan keadilan menghiasi seluruh wajah Islam. Di sana terdapat
keadilan antara agama-agama yang dulu, keadilan antara individu dan
masyarakat, keadilan antara dunia dan agama, keadilan antara pria dan
wanita, keadilan untuk orang-orang yang fakir dan orang-orang yang kaya,
keadilan antara para penguasa dan rakyat, bahkan dengan keadilan itu
sendiri bumi dan langit ditegakkan dan Allah SWT menyebut diri-Nya
sebagai al-'Adl (Yang MahaAdil).
Selanjutnya, Islam adalah agama yang sudah lama sebagaimana lamanya kedatangan para nabi. Nabi Nuh as berkata dalam surah Yunus:
"Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikit
pun darimu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka dan aku
disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri
(kepadanya)." (QS. Yunus: 72)
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail as berkata dalam surah al-Baqarah saat keduanya membangun Ka'bah:
"Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan Kami,
jadikanlah kami berdua orang yang tunduh patuh kepada Engkau dan
tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji hami,
dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Menerima
taubat lagi Maha Penyayang. " (QS. al-Baqarah: 127-128)
Nabi Ibrahim tidak lupa untuk berwasiat kepada keturunannya dan di
antara mereka adalah Yakub agar mereka mati dalam keadaan Islam. Allah
SWT berfirman:
"Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anaknya, Demikian pula
Yakub. (Ibrahim berkata): 'Hai anak-anakku, Sesungguhnya Allah telah
memilih agama ini bagimu, maka janganlah hamu mati kecuali dalam memeluk
agama Islam.'" (QS. al-Baqarah: 132)
Ketika kematian mendekati Yakub, beliau mengumpulkan anak-anaknya di sekelilingnya dan bertanya kepada mereka:
"Apa yang kamu sembah sepeninggalku? Mereka menjawab: 'Kami akan
menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenak moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan hhaq,
(yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepadanya.'"
(QS. al-Baqarah: 133)
Allah SWT memberitahu kita dalam surah Yunus tentang perkataan Nabi Musa kepada kaumnya:
"Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakallah
kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri." (QS.
Yunus: 84)
Sementara itu, Nabi Sulaiman adalah seorang Muslim sesuai dengan nas
ayat-ayat yang menceritakan tentang kisahnya bersama Ratu Saba' ketika
Ratu tersebut berkata:
"Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat lalim terhadap diriku dan
aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam."
(QS. an-Naml: 44)
Demikian juga Nabi Yusuf, beliau berdoa kepada Allah SWT dan meminta
kepadanya agar mematikannya sebagai orang Muslim dan memasukannya dalam
kelompok orang-orang yang saleh. Allah SWT berfirman dan bercerita
tentang Yusuf dalam surah Yusuf:
"Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku
sebagaian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian ta'bir mimpi.
(Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi, Engkaulah Pelindungku di dunia dan
di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku
dengan orang-orang yang saleh." (QS.Yusuf: 101)
Sementara itu dalam surah al-Maidah, Allah SWT mewahyukan kepada kaum
Hawariyin agar mereka beriman kepadanya dan kepada rasul-Nya lalu mereka
berkata:
"Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa Sesungguhnya
kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)." (QS. al-Maidah:
111)
Jadi, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Yakub, Nabi Musa Harun,
Nabi Sulaiman, Nabi Yusuf, Nabi Isa adalah nabi-nabi yang Muslim sesuai
dengan nas ayat-ayat tersebut. Maka seluruh nabi adalah orang-orang
Muslim, lalu bagaimana Nabi Muhammad saw sebagai Nabi yang terakhir
dikatakan sebagai orang Muslim yang pertama?
Allah SWT berfirman dalam surah al-An'am yang ditujukan kepada Nabi yang terakhir:
"Katakanlah: 'Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).'" (QS. al-An'am: 162-163)
Maka, bagaimana beliau menjadi orang Muslim yang pertama, padahal
penamaan umat beliau dengan sebutan al-Muslimin adalah penamaan yang
sebenarnya sudah dahulu dikenal di kalangan nabi-nabi yang terdahulu dan
kedatangannya ke alam wujud dan penamaan agamanya dengan sebutan
al-Islam sebenarnya berhutang kepada kakeknya yang jauh, yaitu Nabi
Ibrahim. Allah SWT berfirman dalam surah al-Hajj:
"Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia telah menamai kamu
sekalian orang-orang Muslim dari dahulu. " (QS. al-Hajj: 78)
Tidak ada pertentangan dalam pendahuluan para nabi dengan sebutan
al-Muslimin daripada Rasulullah saw dan kedudukan beliau sebagai orang
Muslim yang pertama. Tentu kata al-Awwal (yang pertama) di sini tidak
dipahami dari sisi waktu atau masa kemunculan, tetapi yang dimaksud
dengan orang Muslim di sini adalah akmalul muslimin (orang yang paling
sempurna di antara orang-orang Muslim). Suatu kali Aisyah pernah ditanya
tentang akhlaknya Rasulullah saw lalu dia menjawab dengan kalimatnya
yang singkat: "Akhlak beliau adalah Al-Qur'an."
Kita mengetahui bahwa Al-Qur'an al-Karim menetapkan akhlak yang mulia
meskipun dalam batasannya yang sederhana dan rendah, dan menyebutkan
keutamaan akhlak dalam tingkatannya yang tinggi. Oleh karena itu, akhlak
seperti apa yang dimiliki oleh Rasulullah saw: apakah beliau memiliki
akhlak yang sifatnya tengah-tengah, atau apakah beliau mendahului dalam
kebaikan, atau apakah beliau termasuk ashabul yamin (orang-orang yang
berasal di sebelah kanan), atau apakah beliau termasuk al-Muqarrabin
(orang-orang yang dekat dengan Allah SWT)?
Rasulullah saw tidak hanya memiliki semua karakter tersebut dan atribut
tersebut, bahkan kedudukan beliau lebih dari itu semua. Beliau berada di
puncak dari segala puncak keutamaan akhlak, sehingga beliau berhak
untuk mendapatkan sebutan dari Allah SWT:
"Dan sungguh pada dirimu terdapat budi pekerti yang agung. " (QS. al-Qalam: 4)
Para Mufasir berbeda pendapat tentang makna dari al-Huluqul 'adzim (budi
pekerti yang agung). Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksud
adalah Al-Qur'an. Sebagian yang lain mengatakan itu adalah Islam. Ada
juga yang mengatakan bahwa beliau tidak memiliki sesuatu kecuali
keinginan untuk menuju jalan Allah SWT.
Dalam Al-Qur'an al-Karim terdapat penjelasan tentang derajat beliau yang
tinggi dalam dua ayat yang mulia. Ayat yang pertama adalah firman-Nya:
"Katakanlah: 'Sesungguhnya Shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).'" (QS. al-An'am: 162-163)
Beliau adalah orang yang paling utama di antara manusia semuanya; beliau
memiliki keutamaan yang melebihi semua manusia; beliau memiliki rahmat
dan kemuliaan yang tidak dapat ditandingi oleh seseorang pun. Meskipun
beliau datang sebagai Nabi yang terakhir namun justru karena posisi
beliau sebagai Nabi yang terakhir, maka beliau menjadi bata yang
terakhir dalam pembangunan rumah kenabian yang tinggi, sehingga bata
yang terakhir itu harus menjadi puncak pembangunan manusia. Sedangkan
ayat yang kedua adalah firman-Nya:
"Dan Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta." (QS. al-Anbiya': 107)
Beliau bukan hanya menjadi rahmat bagi orang-orang Arab saja; beliau
bukan hanya menjadi rahmat bagi orang-orang Quraisy dan beliau bukan
menjadi rahmat bagi zamannya saja, begitu juga beliau tidak menjadi
rahmat bagi jazirah Arab saja, tetapi beliau menjadi rahmat bagi alam
semesta; beliau senantiasa menjadi rahmat bagi alam semesta: dimulai
dari diturunkannya wahyu kepadanya dengan kalimat iqra hingga Allah SWT
mewariskan bumi dan apa saja yang ada di dalamnya kepada orang-orang
yang berhak mewarisinya sampai hari kiamat. Alhasil, beliau adalah
rahmat yang dihadiahkan kepada manusia; beliau adalah rahmat yang tidak
menonjolkan mukjizat yang mengagumkan, tetapi beliau adalah rahmat yang
memulai dakwah dengan mengutamakan fungsi akal atau pembacaan dua kitab:
pertama, pembacaan kitab alam atau Al-Qur'an yang diciptakan atau
kalimat-kalimat Allah SWT yang terdiri dari jutaan bentuk dan kedua
pembacaan Al-Qur'an yang diturunkan melalui malaikat Jibril di mana ia
merupakan kalamullah yang abadi. Dan kitab alam dibaca dengan ribuan
cara: dibaca melalui penelusuran dunia:
"Katakanlah: 'Berjalanlah kamu di mnka bumi dan amat-amatilah.'" (QS. an-Naml: 69)
Atau dibaca melalui usaha menyingkap misteri dan penggunaan akal:
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi
mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar. " (QS. Fushilat: 53)
Atau dibaca melalui ilmu dan pengamatan:
"Atau siapakah yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam, dan
yang telah menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, dan yang
menjadikan gunung-gunung untuk (mengokohkan)nya dan menjadikan suatu
pemisah antara dua laut 1 Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)?
Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui." (QS.
an-Naml: 61)
Jika di sana terdapat ribuan jalan atau cara untuk membaca
kalimat-kalimat Allah SWT dan kitab alam, maka di sana terdapat satu
jalan untuk membaca kalamullah yang abadi, yaitu hendaklah Al-Qur'an
dibaca dengan mata hati dan kecermelangan basirah, sehingga Al-Qur'an
menjadi bagian akhlak dari yang membaca sesuai dengan kemampuannya.
Sebelum turunnya Al-Qur'an, dunia diliputi dengan kekurangan, baik
secara materi, ruhani, undang-undang maupun dari dimensi kehidupan yang
biasa melekat pada manusia saat itu. Dan sebelum diutusnya Rasul saw
yang beliau adalah manusia yang sempurna dan paling utama, alam belum
mencapai puncak dari penyerahan diri kepada Allah SWT atau puncak dari
keutamaan akhlak. Ketika Rasulullah saw diutus, maka manusia mengalami
kesempurnaan dan mampu mencapai tingkat kesempurnaannya. Dengan Kitab
yang mulia ini dan Nabi yang pengasih, Allah SWT yang menyempurnakan
agama bagi manusia dan menyempurnakan nikmat-Nya atas mereka,
sebagaimana firman-Nya:
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itujadi agama
bagimu. " (QS. al-Maidah: 3)
Namun semua itu tidak terwujud begitu saja, Nabi yang mulia harus
berjuang secara serius dan sungguh-sungguh, sehingga beliau menjadi
manusia yang paling layak untuk mendapatkan pujian pendduduk bumi dan
penduduk langit. Dan Rasulullah saw telah melakukan semua itu. Kita
tidak mengenal seorang nabi yang perasaannya dihina dan dicaci maki
lebih dari apa diterima oleh Muhammad bin Abdillah; kita tidak mengenal
seorang nabi yang memikul berbagai penderitaan, dan memiliki kesabaran
yang mengagumkan di jalan Allah SWT sebagaimana yang ditunjukkan oleh
Nabi kita.
Kemudian, seorang yang diutus oleh Allah SWT sebagai rahmat bagi alam
semesta tidak akan mengajak manusia menuju kebenaran kecuali jika
manusia tersebut dari kalangan orang-orang yang kafir dan membangkang.
Beliau berdakwah bagi orang yang berhak mendapatkan dakwah; beliau siap
memikul tanggung jawab dakwah dengan berbagai tantangan dan cobaannya;
beliau menunjukkan kesabaran yang luar biasa. Setelah itu, beliau datang
kepada Allah SWT dengan hati yang puas dan air mata yang bercucuran dan
dengan suara berbisik berkata: "Ya Allah, jika tidak ada kemurkaan pada
diri-Mu, maka aku tidak akan peduli dengan manusia." Segala sesuatu
akan menjadi mudah jika di sana terdapat ridha Allah SWT.
Setelah turunnya wahyu kepada Rasul saw, beliau memulai tahapan dakwah
dan mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT. Dimulailah dakwah secara
rahasia yang berlangsung selama tiga tahun dalam persembunyian.
Mula-mula Ummul Mu'minin, Khadijah binti Khuwailid beriman kepadanya,
lalu beriman juga sahabatnya, Abu Bakar sebagaimana beriman kepadanya
anak pamannya, Ali bin Abi Thalib yang saat itu masih kecil dan hidup di
bawah asuhan Muhammad, dan juga beriman kepadanya Zaid bin Tsabit,
seorang pembantunya. Kemudian Abu Bakar juga ikut berdakwah, sehingga ia
memasukkan dalam dakwah teman-temannya, seperti Usman bin Affan, Thalha
bin Ubaidilah, dan Sa'ad bin Abi Waqas. Juga beriman seorang Masehi,
yaitu Waraqah bin Nofel dan Rasulullah saw melihatnya setelah
kematiannya tanda kesenangan yang itu menunjukkan ketinggian derajatnya
di sisi Allah SWT. Setelah itu, Abu Dzar al-Ghifari juga masuk Islam,
lalu disusul oleh Zubair bin Awam dan Umar bin 'Anbasah serta Sa'id bin
'Ash. Jadi, Islam mulai mengepakkan sayapnya secara rahasia di Mekah.
Kemudian berita tersebarnya akidah yang baru ini sampai kepada
pembesar-pembesar Quraisy, tetapi mereka tidak begitu peduli. Barangkali
mereka membayangkan bahwa Muhammad telah menjadi—karena uzlah yang
dilakukannya di gua Hira—salah seorang juru bicara tentang ketuhanan
sebagaimana pernah dilakukan oleh Umayah bin Shalt dan Qas bin Sa'adah.
Demikianlah dakwah secara rahasia berhasil mengembangkan misinya dan
dapat melindungi akidah yang baru. Dan selama perjalanan tiga tahun yang
dibutuhkan tahapan dakwah secara rahasia keimanan telah tertanam dalam
hati kaum Muslim yang pertama. Rasulullah saw telah mendidik mereka dan
telah menanamkan kepada diri mereka sifat-sifat kemuliaan dan telah
menciptakan mereka sebagai benih pertama dari pasukan Islam. Pada suatu
hari Jibril turun dengan membawa firman Allah SWT:
"Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat." (QS. asy-Syu'ara': 214)
Demikianlah, datanglah perintah Ilahi agar Rasulullah saw berdakwah
secara terang-terangan. Lalu berkumpullah di sekeliling Nabi sekelompok
tentara yang besar dan datanglah perintah Ilahi agar beliau menyampaikan
dakwah secara terang-terangan dan mengingatkan keluarga dekatnya.
Ketika Nabi melakukan hal tersebut, maka dakwah memasuki tahapan yang
kedua. Dan tahapan dakwah yang baru ini berakibat pada timbulnya
penekanan terhadap para dai di mana mereka mengalami penindasan, bahkan
mereka didustakan oleh masyarakat serta diboikot.
Orang-orang Quraisy mengetahui bahwa Muhammad berbahaya bagi mereka.
Beliau bukan hanya berbicara tentang ketuhanan, tetapi beliau mengajak
rnanusia untuk mengikuti agama baru, yaitu agama yang mencoba untuk
menyingkirkan berhala-berhala dan patung-patung mereka serta tuhan-tuhan
mereka yang mereka yakini; agama yang mencoba menyingkirkan kedudukan
sosial mereka dan kepentingan-kepentingan ekonomi mereka; agama yang
menyatakan bahwa tiada tuhan lain selain Allah SWT, dan tiada hukum lain
selain hukum-Nya, serta tiada penguasa lain selain Dia. Kedatangan
agama tersebut menyebabkan penduduk kota Mekah membencinya dan
orang-orang yang memegang kekuasaan di dalamnya merasa gelisah.
Setelah pengumuman dakwah secara terang-terangan, dimulailah dan
ditabuhlah gendrang peperangan. Kemudian peperangan yang dahsyat terjadi
antara para pembesar Quraisy dan para pengikut Rasulullah saw. Orang
yang pertama kali menyerang Islam adalah seorang tokoh Mekah yang
bernama Abu Lahab.
Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw menaiki bukit Shafa dan beliau
mulai memanggil-manggil tokoh Quraisy dan para kabilah Mekah. Dan
ketika semua berkumpul, beliau bertanya kepada mereka: "Apakah kalian
percaya jika aku memberitahu kalian bahwa seekor kuda akan datang
menyerang kalian?" Mereka menjawab: "Tentu, kami belum pernah melihatmu
berbohong." Beliau berkata: "Aku seorang yang diutus sebagai pemberi
peringatan terhadap kalian. Di hadapanku terdapat siksaan yang berat
jika kalian menentang." Abu Lahab berkata: "Sungguh celaka engkau,
apakah karena ini engkau mengumpulkan kami."
Dengan penghinaan inilah, peperangan terhadap Islam dimulai. Ketika kaum
Muslim tidak mampu mempertahankan diri mereka, maka mula-mula Allah SWT
membantu mereka dan menolong mereka dengan menurunkan surah yang pendek
yang mengecam tindakan Abu Lahab:
"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.
Tidaklah bermanfaat kepadanya harta bendanya dan apa yang dia usahahan.
Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula)
isterinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut. "
(QS. Allahab: 1-5)
Dengan ayat-ayat yang pendek dan tepat tersebut, Abu Lahab memasuki
kancah sejarah dari pintunya yang paling pendek. Gambaran tentang
kejahatan Abu Lahab tertulis selama-lamanya. Abu Lahab adalah seorang
yang menentang dakwah kebenaran karena ia mengkhawatirkan kedudukannya
dan kekayaannya, padahal harta yang dipertahankannya dan dijaganya tidak
memiliki arti sama sekali di sisi Allah SWT karena ia sekarang berada
dan dijebloskan di tengah-tengah neraka yang menyala-nyala, sedangkan
isterinya membawa kayu bakar, sehingga menambah nyala api itu sendiri.
Dan di lehernya terdapat suatu belenggu sebagai simbol keterikatannya
dengan dunia binatang yang tidak berakal. Sebagian besar orang-orang
yang menentang dakwah adalah orang-orang yang berhubungan dengan dunia
binatang yang tidak sadar.
Allah SWT berfirman:
"Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau
memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak,
bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu). " (QS.
al-Furqan: 44)
Seandainya hari ini kita merenungkan reaksi orang-orang kafir dan orang-orang musyrik, maka kita akan terheran-heran.
Allah SWT berfirman:
"Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan
(rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: 'Ini adalah
seorang ahli sihir yang banyak berdusta. Mengapa ia menjadikan
tuhan-tuhan itu Tuhan yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu
hal yang sangat mengherankan'." (QS. Shad: 4-5)
Coba perhatikan bagaimana kebodohan kaum itu di mana mereka menganggap
bahwa pada hakikatnya terdapat multi tuhan dan mereka jutru merasa heran
ketika terdapat hanya satu tuhan atau tuhan yang esa. Mereka justru
merasa heran ketika berhadapan dengan masalah yang fitri dan jelas ini.
Allah SWT berfirman:
"Dan apabila mereka melihat kamu (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan
kamu sebagai ejekan (dengan mengatakan): 'Inikah orangnya yang diutus
Allah sebagai rasul? Sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita dari
sembahan-sembahan kita, seandainya kita tidak sabar (menyembah)nya. "
(QS. al-Furqan: 41-42)
Perhatikanlah betapa nekatnya kaum itu di mana mereka mulai menghina dan
mengejek Rasulullah saw, padahal beliau telah datang di tengah-tengah
mereka untuk menyelamatkan mereka dari api neraka, dan coba perhatikan
bagaimana pandangan mereka terhadap tuhan-tuhan mereka. Mereka
membayangkan bahwa mereka nyaris tersesat jika mereka tidak bersabar
dalam membela tuhan-tuhan tersebut. Demikianlah kesesatan mengejek
kebenaran dan kebodohan menghina ilmu. Mereka justru merasa heran
terhadap kepandaiannya yang dapat menyelamatkannya dari meninggalkan
tuhan-tuhannya yang terbuat dari batu dan kayu, bahkan terkadang mereka
membuat tuhan dari adonan roti di mana mereka menyembahnya kemudian
memakannya. Mereka mengatakan bahwa tuhan-tuhan kami menyelamatkan kami
dari rasa lapar atau mereka mengatakan bahwa kami menyembah mereka agar
mereka dapat mendekatkan kami pada Allah sedekat-dekatnya.
Meskipun demikian, dakwah Nabi terus berlanjut dan tertanam di muka
bumi. Mereka orang-orang musyrik menuduh Nabi sebagai seorang dukun;
mereka menuduhnya juga sebagai seorang gila, bahkan mereka menuduhnya
sebagai seorang penyihir; mereka menuduh bahwa beliau berbohong atas
nama kebenaran dan beliau dibantu oleh kaum yang lain; mereka mengatakan
ini adalah dongengan orang-orang yang dahulu.